Negeri Baliho
Pesta demokrasi kembali digelar negeri ini. Perhelatan sekali dalam lima tahun ini sungguh menyita perhatian sebagian besar masyarakat. Mulai dari rakyat jelata yang tak mengerti sedikitpun tentang politik sampai pada para elite yang mengaku paham akan seluk beluk politik, meski besar kemungkinan mereka hanya menjadikan politik sebagai sarana pelarian profesi mencari ketenaran atau kekayaan semata dan tidak mustahil sebagian di antarnya hanya mengadu peruntungan semata.
Pemilu yang memakan biaya triliunan rupiah tersebut justru tak ada seorang pun yang dapat memastikan akan berdampak positif bagi negeri ini. Pasca pemilu nanti belum tentu ekonomi lebih membaik, belum tentu kemiskinan akan berkurang, dan belum tentu konflik horizontal mereda. Hal inilah yang membuat sebagian anak bangsa ini terus saja merasa pesimis terhadap pesta akbar ini. Namun, ada hal yang pasti terjadi dan telah kita rasakan bersama dalam situasi menjelang hari pencontrengan pemilu legislative dan akan berlanjut pada pemilu presidena nanti, yakni maraknya baliho. Baliho berukuran kecil, sedang, besar, sampai ukuran spektakuler menjadi “santapan mata” setiap saat dan hampir di seluruh pelosok dan sudut-sudut negeri ini. Daerah pedalaman sampai kota besar dan di antaranya penuh dengan baliho. Lorong-lorong dan gang-gang kecil pun penuh dengan baliho. Gambar dan tulisan di baliho pun beraneka ragam bentuk serta coraknya. Postur dan tampang calon legislative dengan pose yang dibuat-buat penuhi baliho-baliho itu. Dari wajah yang cantik tampan sampai berwajah muram sangar tak sulit ditemukan.
Baliho-baliho tersebut dipasang oleh caleg atau tim suksesnya dengan sangat serampangan. Pohon-pohon taman kota menjadi objek penderita tempat di pakunya baliho tersebut. Tiang-tiang listrik penuh dengan gambar manusia pengejar kursi empuk di dewan. Jembatan, rumah makan, tembok dan dinding pagar pun penuh dengan gambar serta baliho caleg. Ada pula yang katanya kreatif dengan memasang gambarnya persis di atas kloset wc umum. Sungguh suatu kreatifitas yang dangkal dan asal-asalan. Kesemrawutan pemasangan baliho dan gambar caleg sebenarnya dapat dijadikan suatu hal yang bisa membuat negeri ini terkenal jika diusulkan untuk masuk ke Guinnes Book of Record, sebagai Negeri Baliho.
Bukan suatu yang kebetulan sebenarnya jika Indonesia diberi gelar sebagai Negeri Baliho. Berapa miliar bahkan mungkin triliunan biaya yang habis hanya untuk mencetak dan memasang baliho-baliho tersebut. Suatu pengorbanan yang luar biasa, sehingga wajar jika pengorbanan tersebut memperoleh hasil gelar sebagai Negeri Baliho. Benar, baliho-baliho yang semrawutan itu akan hilang seiring dengan selesainya Pemilu, namun akan lebih berkesan jika gelar Negeri Baliho kita raih sebelumnya. Indonesia tidak hanya terkenal akan kekayaan alamnya yang diberikan dengan gratis oleh Tuhan, tapi juga terkenal dengan kekayaan balihonya yang diusahakan sendiri oleh bangsa ini.
Negeri Baliho adalah bentuk keputusasaan yang akomodatif, sehingga sikap apatis dapat diarahkan ke sesuatu yang menggelikan. Di tengah janji-janji yang semakin bombastis dari para caleg dan capres, masyarakat semakin merasakan sulitnya kehidupan. “Penghamburan” triliunan rupiah untuk sesuatu yang tak pasti akan semakin memunculkan “keloyoan” kepada masyarakat. Masyarakat hanya berpikir yang nyata dan terasa, dan sudah antipati terhadap janji yang nantinya akan dilanggar. Masyarakat mau melihat dan merasakan sembako murah, minyak tanah gampang diperoleh, PHK tidak terjadi, anak-anaknya dapat bersekolah dengan baik, serta penghasilan mereka dapat menghidupi keluarganya. Simpel dan tidak neko-neko, itulah yang masyarakat mau. Masyarakat lebih suka makan nasi garam tapi nyata, daripada makan roti keju tapi hanya janji (mimpi).
Negeri Baliho hanya memasang tampang wajah-wajah yang tersenyum dan berjanji palsu. Bangsa ini tidak akan maju dengan baliho yang mengumbar wajah dan janji-janji saja, tetapi harus dengan bukti nyata. Meski negeri ini mendapat gelar Negeri Baliho dengan berjubelnya baliho yang terpajang di seluruh penjuru negeri di masa-masa pemilu ini, namun pasca pemilu semoga negeri ini tidak mengalami suasana seperti baliho-baliho itu, hanya wajah dan janji palsu belaka. Negeri kita tetap seperti sebelum pemilu bahkan lebih parah lagi. Negeri Baliho semoga tak menjadi nyata di Republik ini.***
NEGERI BALIHO
Muh. Syukur Salman
Sabtu, 04 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
Akses internet yang cepat adalah dambaan semua orang yang aktif memanfaatkan internet sebagai sarana pendukung aktifitasnya. Tak terkecuali...
-
Secara formal memang tidak dikenal istilah sekolah favorit di Negeri ini. Namun, hampir di setiap daerah, sekolah favorit tetap ada dan sema...
-
Banyak pihak yang akhir-akhir ini meragukan efektifikasi program sertifikasi guru dapat meningkatkan professionalisme pahlawan tanpa tanda j...
-
Kata Baskom, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “tempat air untuk cuci tangan atau muka”. Namun, pada umumnya ibu r...
-
Malam semakin larut, namun mata Rina belum dapat dipejamkan. Degupan jantungnya semakin kencang saja. Mukena yang dipakainya Shalat Isya bel...
Kata Bijak
Apapun harapan dan cita-citamu, semua tergantung kepadamu. Meski bantuan dari oranglain akan sangat bermanfaat, namun sangat kecil bagian dari pencapaian yang kau raih. Usahamu adalah jalanmu untuk menjadi yang kau inginkan. Oleh karena itu, apapun yang telah kau raih dan dapatkan adalah karena dirimu. Senang atau tidak senang terhadap keadaanmu sekarang adalah akibat dari dirimu sendiri. Jadilah dirimu sendiri adalah jalan yang terbaik dan terindah dalam arung kehidupan ini. MS2
Mengenai Saya
- Muh. Syukur Salman
- Parepare, Sulawesi Selatan, Indonesia
- Lahir di Parepare, 35 tahun yang lalu tepatnya tanggal 14 Agustus 1973. Menyelesaikan pendidikan tertingginya di Universitas Negeri Makassar tahun 2004 pada jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. Profesi keseharian adalah Kepala SD Negeri 71 Kota Parepare, Sulawesi Selatan. Kegemaran dibidang tulis menulis juga membuatku telah menerbitkan 3 buku cerita anak, 1 buku kumpulan ESAI/OPINI pendidikan, dan 1 buku kumpulan cerpen remaja Islam. Mempunyai dua anak berumur 4 tahun yang laki-laki bernama Muh. Uswah Syukur dan berumur 2 tahun yang perempuan bernama Sitti Hasanah Syukur,serta seorang istri cantik bernama Mukrimah.




0 komentar:
Posting Komentar