cerpen : GURUKU, I LOVE YOU

Jumat, 26 Desember 2008


Malam semakin larut, namun mata Rina belum dapat dipejamkan. Degupan jantungnya semakin kencang saja. Mukena yang dipakainya Shalat Isya belum juga dilepas dari badannya’ “Haruskah aku berikan kertas ini?” ditatapnya terus kertas yang masih dipegangnya. Seakan dia mempunyai teman bicara di kamar sepi dan dingin itu, berbagai pertimbangan dan alasan terus dilontarkannya. “Masa sih, aku harus memberikannya?” kembali dia balikkan badannya memandang langit-langit. “Tapi… bagaimana dengan perasaanku. Aku tidak dapat membohongi kata hatiku.” Dia tutup wajahnya dengan bantal guling bercorak mawar merah yang sedari tadi menjadi sasaran tampar dan tinjunya. Sekilat kemudian, Rina memeluknya erat sekali. Buliran-buliran air mata menyeruak keluar membasahi kedua pipi sampai ke lehernya. Dia teringat apa yang telah dialaminya sehingga membuatnya menangis di kelamnya malam itu.

Tiga bulan lalu….

“Yang mana sih?” bisik Rina kepada Wati ”Hush... dilihat Pak Efendy baru tahu rasa kau. Ini kan lagi upacara, Rin.” gemeretak gigi Wati karena jengkel. Rina sedari tadi menanyakan wali kelasnya yang baru, maklum dia bolos tiga hari. Wati tidak mau mendapat teguran karena bicara dalam upacara. Lain dengan Rina, wajahnya yang cantik bertolak belakang dengan tingkah lakunya. Dia dikenal sering mendapat teguran dari para guru. Prilakunya yang sering heboh serta gaya berpakaiannya yang agak mini, membuatnya menjadi selebriti cantik yang nakal di SMA itu.

Matanya terus mengamati satu persatu guru, dan .... ”Yang berjenggot tipis itukan, Ti? Pasti dia orangnya. Wah... tampan juga yah.” ucapnya terus di telinga Wati yang sedari tadi memejamkan matanya karena khawatir. ”Masih muda yah... Apa dia sudah punya istri yah? Aku pastikan dia akan berte...” Belum sampai Rina melanjutkan bicaranya, tangan kanannya terasa ada yang menggenggam dan menariknya ke belakang barisan.

”Kamu, di belakang bersama saya yah, Rin!!” ”Eh.. m..maaf, Pak.” Rina tak dapat berkelit. Dia pasti akan menerima hukuman dari Pak Sahran lagi. ”Betul-betul guru ini... matanya awas sekali...” gerutu Rina dalam hati.

Rina dibawa oleh Pak Sahran ke ruang BP (Bimbingan Penyuluhan) setelah upacara usai. Beberapa temannya sempat mencibirnya, namun Rina menganggapnya angin lalu saja. Mungkin karena sudah terlalu sering berurusan dengan guru BP. Tak lama kemudian, Wati pun menyusulnya. ”Wati... jawab yang jujur. Apa yang dibicarakan Rina tadi dalam upacara? Kamu kan yang diajaknya bicara?” Tanya Pak Sahran yang tetap memandangi wajah Rina. ”Tapi, pak....A..aku tidak bicara koq tadi. Hanya dia tuh yang selalu bicara. Aku hanya diam.” Wati cemberut, dia sangat jengkel kepada Rina yang telah membuatnya menginjak ruang BP, ruang yang dia haramkan dirinya untuk memasukinya.

“Bapak hanya mau tahu... apa yang dibicarakan si cantik ini.” Jelas guru BP nya itu.

“Pak Zaid... Pak Zaid yang dia bicarakan, Pak.” jawab Wati ketus.

”Pak Za..id. Wah.. kamu berbohong lagi, Rin. Sebenarnya memang aku tidak percaya kalau kau berbicara tentang PR Matematikamu yang ketinggalan di rumah. Ternyata... Rinaaa!” tiba-tiba suara Pak Sahran keras. ”Jangan coba-coba menjalankan kebiasaanmu itu pada seorang guru, Rin!” bentak guru BP itu, membuat Rina dan Wati kaget. ”Sebenarnya, bapak sudah lama meminta Kepala Sekolah untuk memindahkanmu dari sekolah ini, Rina. Sekolah ini favorit, Rin... jangan sampai kau yang mencoreng nama baik sekolah. Semua guru juga disini gembira kalau kau pindah saja dari sekolah ini.”

Mendengar itu, Rina tertunduk lesu di depan meja guru BP nya itu. Sekejap kemudian... ”Assalamu’alaikuum......” Pak Zaid masuk ruang BP.

”Eh.. silahkan masuk, Pak. Saya masih menginterogasi anak wali bapak. Ada apa yah, Pak?” tanya Pak Sahran.

”Aku hanya mau kedua anak wali saya mengikuti pelajaranku sekarang, pak.” ujar Pak Zaid sambil duduk di bangku.

”Wati.. kamu masuk kelas.” suruh Pak Sahran. ”Rina, bagaimana Pak?” tanya Pak Zaid memandangi siswanya itu.

”Maksud, bapak?” Tanya Pak Sahran ”Jika diperbolehkan, biarlah saya dulu yang menanganinya, Pak” pinta Pak Zaid.

”Pak Zaid. Dengar yah Pak. Bapak baru tiga hari di sekolah ini. Bapak belum tahu bagaimana prilaku anak ini. Dia ini seperti duri dalam daging di sekolah ini,Pak.” jelas Pak Sahran. Pak Zaid hanya tersenyum mendengar semua yang dikatakan Pak Sahran. ”Iya, Pak. Aku mengerti, tapi... biarlah aku coba.”

”Baik. Jika itu kemauan bapak. Tapi, saya tidak akan menanganinya lagi jika terjadi masalah dengan dia. Ingat, Pak... Bapak masih muda... hati-hati dengan siswa bapak yang cantik ini..”

Akhirnya Pak Zaid diikuti oleh Rina keluar dari ruang BP. ”Thanks yah Pak. Bapak baik deh.” celoteh Rina sambil berlari riang mendahului Pak Zaid. Tapi sejurus kemudian dia berhenti menunggu gurunya itu. ”Tapi Pak. Mengapa bapak melakukan itu?” Pak Zaid tetap berjalan dan tidak berkata apapun atas pertanyaan Rina. ”Bapak pasti tertarik denganku kan?” setelah mengucapkan itu, Rina berlari kembali dan masuk di dalam kelasnya.

”Dia akan bertekuk lutut padaku, Ti.” Rina mencubit perut Wati. Mendapat cubitan yang tiba-tiba, Wati sedikit menjerit.

”Rin... jangan kau berbuat begitu kepadaku. Aku bisa mati nanti. Maksudmu siapa sih?” tanya Wati ternyata penasaran juga.

”Dia...” Rina mengarahkan pandangannya kepada Pak Zaid yang baru masuk kelas. ”Tiga hari, Ti. Yah...beri aku waktu tiga hari, dia akan menyatakan cintanya, padaku.” bisik Rina keras.

”Jangan main-main kau Rin. Dia kan guru. Eh, jika kau tak berhasil?” pancing Wati. “Aku traktir kau di Kentucky.” tegas Rina meyakinkan.
******

Tiga bulan kemudian....

”Pak... tidak adakah jalan agar bapak terus mengajar kami di sini? Kami akan sangat kehilangan panutan dan teladan jika bapak meninggalkan kami.” Ketua Kelas III IPA1 mewakili teman-temannya menyampaikan keberatannya atas kepindahan Pak Zaid ke Sidrap karena terangkat CPNS di sana. Rina dan Wati hanya tertunduk mengusap air mata yang terus mengalir. Selama tiga bulan mereka rasakan pencerahan dari seorang guru yang penuh dengan kebesaran jiwa untuk mendidik mereka. Rina seakan menjadi manusia baru berkat kepekaan gurunya itu dalam berkomunikasi dengannya. Jilbab yang dipakainya sekarang adalah berkat keyakinannya atas nasehat dan arahan guru idolanya itu. Tak ada lagi Rina yang selalu berurusan dengan guru BP. Tak ada lagi Rina dengan gaya selebritisnya. Janjinya kepada Wati untuk membuat gurunya itu bertekuk lutut kepadanya, telah berubah menjadi perasaan cinta yang tulus. Rasa cinta kepada panutan hati yang mau mendengarnya dan bersabar atas prilakunya selama ini. Gurunya itu telah membuatnya menjadi manusia yang menghargai dan dihargai.

*********
Setelah memantapkan dirinya pada malam itu, esok harinya sebelum Pak Zaid meninggalkan Parepare menuju Sidrap, Rina menyelipkan secarik kertas di saku baju gurunya itu. Diperjalanan, senyum merekah di bibir Pak Zaid setelah membaca tulisan pada kertas pemberian Rina, siswa idolanya itu. ”Guruku, I Love You.” SEKIAN.

1 komentar:

  1. SYAIFUL MAHSAN mengatakan...:

    potensi guru dalam melakukan perubahan pada peserta didiknya tidak semata pada kemampuan penguasaan materi, tetapi totalitas dari diri seorang guru yang dapat memberi sugesti/hipnosis siswa agar dapat berubah atau minimal berkeinginan untuk berubah. Pak Zaid adalah sosok guru dambaan semua siswa dimanapun dia berada selamat jalan pak Zaid. siswa sidrap menunggumu

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum