Membentuk Guru Maksum dan Zero Insident

Rabu, 24 Desember 2008


Seakan tiada habisnya, membicarakan tentang pendidikan khususnya guru semakin hangat dan berkembang saja. Guru memang pantas mendapat sorotan hangat dari masyarakat. Profesi guru sebagai pengemban tugas menciptakan insan cendekia bangsa teramat sangat mulia sekaligus beban berat. Masyarakat bangsa ini sudah terlanjur menumpukan beban begitu berat sekaligus harapan yang tinggi di pundak guru. Harapan masyarakat yang tinggi itulah yang selalu menjadi dorongan kepada guru untuk selalu mengembangkan kualitasnya. Namun, disayangkan bahwa sebagian masyarakat selalu melihat celah terhadap harapan mereka yang tidak dapat terpenuhi, selanjutnya berusaha untuk mendeskreditkan guru dari segi kualitasnya. Hal ini pun masih dapat ditolerir oleh guru dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang merupakan hak semua orang untuk memberikan penilaian.

Persepsi dan penilaian kebanyakan orang terhadap profesi guru memberikan eksklusifisme yang teramat sangat dibanding dengan profesi lainnya. Guru dianggapnya sebagai profesi yang luput akan kesalahan, padahal yang menyandang profesi guru itu adalah manusia biasa, sama dengan masyarakat pada umumnya. Guru bukanlah Batara Guru yang dikenal di dunia pewayangan sebagai dewa. Mampu berbuat apa saja dan tentu terbebas dari kesalahan dan keterbatasan. Guru adalah suatu profesi yang digeluti sebagian dari masyarakat bangsa ini yang telah mematangkan prinsipnya untuk menjadi seorang guru dan mempunyai keahlian (ijazah) dalam bidang tersebut. Orang yang menjadi guru bukan dari satu kepribadian yang sama, tidak pula merasakan sama terhadap permasalahan yang mungkin sama. Singkatnya, guru adalah manusia biasa yang tak luput dari salah.

Guru tidak dapat disamakan dengan malaikat yang zero insident (nol kesalahan), tapi tentu juga jauh dari persamaan dengan setan yang selalu melakukan pelanggaran. Kriteria guru yang baik, profesional, bermutu, atau apapun namanya, tidak berarti bahwa dia tidak pernah berbuat salah atau maksum seperti seorang nabi. Guru juga bukan sebuah komputer yang tidak mempunyai rasa dan perasaan. Masyarakat sering menilai guru sampai pada hal-hal yang sangat kecil. Suara guru yang besar saat tertawa saja, sudah dianggapnya tidak etis menjadi guru. Melihat guru jarang tersenyum, sudah menjadi bahan menjastifikasi ketidakpantasan menjadi seorang guru. Padahal dia seorang guru, mengapa prilakunya seperti itu. Demikian yang sering dilontarkan masyarakat terhadap prilaku seorang guru. Jika bukan guru yang berbuat demikian, maka hal itu merupakan sesuatu yang biasa saja. Penilaian masyarakat terhadap guru meruapakan anti klimaks penilaian masyarakat terhadap prilaku selebritis. Begitu besarnya muatan nilai pada predikat guru seseorang.

Kecenderungan untuk terus memberikan penilaian terhadap guru sampai pada penilaian di dalam kelas sebagai wilayah kerja ”otonom” guru. Ironisnya lagi bahwa yang menilai adalah orang-orang yang belum pernah menjadi guru, sehingga sangat kurang pemahamannya tentang kompleksitas profesi guru terutama dalam proses pembelajaran. Tentu saja penilaian yang demikian belum tentu tak bermanfaat, asalkan menempatkan guru sebagai objek sekaligus subjek dari penilaian. Guru tidak boleh dianggap sebagai boneka yang selalu didorong dan ditarik saja, sesuai kemauan yang punya boneka. Guru adalah profesi cerdas dan tentu saja paham betul apa yang terbaik bagi mereka. Namun, guru tidak pernah menolak hal-hal yang bertujuan meningkatkan kualitas mereka sebagai guru, dari mana pun datangnya.

Masih banyak diskusi tentang peningkatan kualitas pendidikan dan termasuk mencari solusi permasalahan guru, hanya berkutat pada hal-hal yang teramat ideal. Perumpamaannya sama dengan seseorang yang belajar berlalu lintas, maka kita memberitahu bahwa jika lampu merah menyala pada traffic light itu berarti berhenti dan hijau silahkan jalan kembali. Hal ini kita lakukan karena idealnya demikian yakni sesuai aturan lalu lintas yang berlaku. Kita belum sampai menambahkan bahwa sebelum jalan meskipun hijau telah menyala, kita tetap harus waspada melihat kanan dan kiri, jangan sampai ada kendaraan yang melanggar aturan lalu lintas tersebut, sehingga kita dapat terhindar dari kecelakaan. Bagaimana persamaannya dengan diskusi tentang guru tadi? Kita selalu melihat guru dengan persepsi yang ideal. Jauh dari kesalahan, kealpaan, kelupaan, ketidaksenangan, keengganan, dan masih banyak yang lainnya. Maka muncullah saran-saran yang sangat idealistik pula dalam menangani permasalahan guru. Konsep yang menerawang jauh sehingga sempat lupa terhadap insiden-inseden yang justru bersentuhan langsung dengan guru.

Tidak mungkin siswa nakal jika gurunya berwibawa. Guru yang ”marah” hanya pelarian karena tidak menguasai materi bahan ajarnya. Jika guru pintar maka siswanya juga pintar, begitu pula sebaliknya. Kalimat-kalimat semacam itu adalah kalimat-kalimat idealnya suatu kondisi, disamakan dengan eksak bahwa 1 + 1 = 2. Padahal kita maklum bahwa bisa saja ada siswa yang nakal meski gurunya berwibawa atau sebaliknya bisa saja siswanya baik meski gurunya kurang berwibawa. Siapa yang lebih berwibawa di dunia ini dibanding Nabi Muhammad? Apakah tak ada lagi dari kaumnya (Quraish) yang mendustakannya (nakal)? Apalagi hanya seorang manusia biasa seperti guru. Kita yakini pula bahwa orang pintar sekaliber profesor sekalipun mustahil tak pernah memarahi mahasiswanya. Kita juga tahu bahwa ada saja siswa yang berprestasi hasil dari guru yang sedang-sedang saja kepintarannya. Perlu kita ketahui bahwa hubungan guru dengan siswanya bukanlah hubungan yang murni tanpa pengaruh dari manapun. Banyak hal yang dapat merubah konsep ideal tadi sehingga menghasilkan sesuatu yang ”error”. Pergaulan mereka (guru dan siswa) di masyarakat, media elektronik, rumah tangga, kehidupan secara global, dan lainnya termasuk yang dapat merubah sesuatu yang ideal menjadi ”lumrah”. Tentu kondisi ini bukanlah menjadi alasan guru menjadi statis tanpa ada peningkatan dari segala aspek. Merupakan suatu kewajiban bagi guru untuk menambah kemampuannya selalu, itu harus. Hal inilah yang merupakan ”rahasia” suatu kondisi tidak selalu ideal kejadiannya, dan inilah yang dinamakan perjuangan, seperti yang dilakukan Nabi kita dalam menegakkan kebenaran. Guru selalu dituntut untuk meningkatkan kemampuannya, termasuk kemampuan dalam menangani kondisi-kondisi yang tidak ideal tadi. Justru kejadian atau kondisi yang tidak ideal inilah yang memunculkan kreatifitas seorang guru. Simpulannya, bahwa siapapun mereka tak akan mampu membentuk guru yang maksum dan zero insident.

Melihat kondisi real guru dalam kesehariannya merupakan tindakan awal yang baik demi benar-benar tulus mengatasi permasalahan yang melingkupi guru. Kiat-kiat apa saja yang dapat dilakukan guru, agar dapat mengerem marahnya di depan siswanya. Kalaupun itu terjadi (marah) apa yang dapat dilakukan guru untuk kembali meredakan ketegangan suasana. Jika seorang guru mempunyai siswa nakal, apa saja yang dapat dilakukannya untuk menghadapi siswa tersebut secara bijak. Menghukum tentu salah satu alternatif terakhir, lalu bagaimana hukuman yang tepat? Bagaimana pula guru menyiasati untuk menghadapi siswa ”bodoh”? Contoh-contoh suasana di atas adalah sesuatu yang sangat familier pada proses pembelajaran seorang guru di kelas. Oleh karena itu, konsep-konsep solusinya juga sangat diharapkan oleh semua guru bahkan guru yang tidak mengalami ”insident” tersebut, karena disadari bahwa tidak mustahil hal serupa dapat terjadi pada diri mereka. Sharing pengalaman juga merupakan sesuatu yang bisa diusahakan, sehingga permasalahan dari guru dan solusinya juga dari guru. Jadi, sebenarnya tidak terlalu sulit mencari solusi permasalahan guru, asalkan tidak melihat guru sebagai manusia yang maksum dan zero insident tadi. Konsep sederhana dan tidak sulit tadi sebenarnya sudah dilakukan oleh guru. KKG (Kelompok Kerja Guru) dan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) sebenarnya mempunyai konsep demikian, hanya saja diakui belum maksimal. Untuk itu memaksimalkan sesuatu yang telah ada dengan bantuan pihak-pihak yang berkepentingan dalam peningkatan mutu pendidikan serta peduli terhadap permasalahan guru, tentu merupakan gagasan yang langsung dapat direalisasikan. SEKIAN.

0 komentar:

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum