66 tahun kita telah menikmati manisnya kemerdekaan. Lepas dari genggaman penjajah yang telah merenggut kebebasan negeri ini selama lebih 3,5 abad lamanya. Setiap tanggal 17 Agustus kita peringati kemerdekaan yang direbut dengan pengorbanan yang tiada tara ini. Kemerdekaan tak ayal memang merupakan jembatan emas untuk kemajuan bangsa Indonesia ke depan. Kemerdekaan negeri ini dibayar dengan lelehan air mata dan darah para orangtua pejuang kita. Banyak cerita pilu yang kita dengar dan sering menjadi bahan kajian pada detik-detik kemerdekaan setiap tahunnya. Pengorbanan apapun demi kemerdekaan bangsa ini merupakan kebanggaan para pahlawan, meski harus berpisah jiwa dan raga, meski harus hanya nama menjadi kenangan. Tak ada harap untuk dibalas, meski dengan pujian, apalagi dengan insentif veteran. Mereka, para pejuang yang telah berkalang tanah hanya menginginkan satu, berilah arti kemerdekaan ini.
Saat ini, di era semakin kompleksnya prikehidupan manusia, bagaimana arti kemerdekaan itu? Tidakkah hari kemerdekaan hanya dijadikan kegiatan seremonial belaka dan jauh dari itikad introspeksi diri? Kondisi bangsa yang selalu memegang jargon bahwa: “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya” telah berada pada tataran “keterlenaan”. Bangsa ini terlena dengan kekayaan alam negeri ini, terlena dengan luasnya sumber uang dari negeri ini, terlena dengan mudahnya meraup keuntungan, dan terakhir mudahnya untuk berbohong di negeri yang dulu dikenal religius ini. Namun, perlu dipermaklumkan, bahwa yang terlena dalam kemerdekaan bangsa ini hanyalah orang-orang yang tidak merasakan pahit getirnya kehidupan, seperti yang telah dirasakan para pahlawan kita.
Bangsa ini hampir bosan dengan tontonan gratis yang tak henti-hentinya tertayang tentang prilaku amoral dan anormal sebagian besar elite negeri ini. Sejak mereka lahir sampai mendekat ajalnya selalu bergelimang dengan kesenangan. Kesenangan yang direngkuhnya dengan prilaku anormatif. Lingkaran kebohongan dan kerakusan seolah-olah menjadi pelangi di negeri “seribu satu kasus” ini. Manusia-manusia “kapal keruk” satu per satu bermunculan bersamaan dengan penegakan hukum yang tak pasti. Silih berganti, bahkan terkesan saling kejar untuk mencari popularitas bangsa korup. Belum tuntas kasus Century, muncul Gayus Sang Pengemplang Pajak, dan terakhir Nazaruddin yang menggegerkan negeri ini. Triliunan rupiah raib hanya demi “perut” segelintir orang yang terlena akan kemerdekaan.
Jika kita menengok dan mengalihkan perhatian di sebelah kerakusan-kerakusan tadi, maka akan terpampang dengan terang benderang kemiskinan ratusan juta anak bangsa. Mengais rezki di belantara kerasnya kehidupan demi hanya untuk makan. Hanya makan yang mereka perlukan untuk menyambung nafas kehidupannya. Mereka inilah yang masih rindu kemerdekaan sejati negeri. Mereka itu adalah sebangsa dan setanah air dengan para koruptor tadi. Mereka itu adalah pemilik sah negeri yang masih memegang teguh demokrasi. Mereka itu adalah mayoritas penghuni Zamrud Khatulistiwa ini. Banyak dari mereka bahkan telah merasakan pahitnya hidup mulai nenek buyutnya sang pejuang itu.
Benarkah kemerdekaan itu hanya fatamorgana belaka? Mulai dari kita untuk memberi bukti bahwa kemerdekaan itu bersemayam di negeri tercinta ini. Kesadaran harus terjaga, bahwa bangsa ini merdeka tidak instan dan tidak pula gratis. Di sebelah kita, banyak saudara kita yang belum merasakan kemerdekaan itu. Kerakusan kita akan membuat mereka lebih menderita. Ingat, para pahlawan bangsa masih menunggu kerja keras kita demi mengisi kemerdekaan ini. Tak harus menjadi orang lain untuk mengisi kemerdekaan ini. Kemerdekaan ini hanya membutuhkan kita yang masih sadar.
66 tahun kemerdekaan adalah waktu yang cukup untuk lebih maju. Jangan kita sampai menganggap “merdeka” hanya saat kita bebas melakukan hal yang melanggar hukum. Merdeka harus ditempatkan pada porsinya yakni bebas tanpa tekanan dalam memajukan bangsa ini sesuai kapasitas kita masing-masing. Tak perlu ada saling meremehkan satu dengan yang lain. Tak ayal, kecongkakan dan kesombongan serta menganggap diri lebih, akan membuat kita terlena, karena bangsa ini bukanlah warisan dari kakek nenek kita, tetapi merupakan pinjaman dari anak cucu kita. Sadarlah…. SEKIAN.
Terlena Dalam Kemerdekaan
Muh. Syukur Salman
Selasa, 27 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
Akses internet yang cepat adalah dambaan semua orang yang aktif memanfaatkan internet sebagai sarana pendukung aktifitasnya. Tak terkecuali...
-
Secara formal memang tidak dikenal istilah sekolah favorit di Negeri ini. Namun, hampir di setiap daerah, sekolah favorit tetap ada dan sema...
-
Banyak pihak yang akhir-akhir ini meragukan efektifikasi program sertifikasi guru dapat meningkatkan professionalisme pahlawan tanpa tanda j...
-
Kata Baskom, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “tempat air untuk cuci tangan atau muka”. Namun, pada umumnya ibu r...
-
Malam semakin larut, namun mata Rina belum dapat dipejamkan. Degupan jantungnya semakin kencang saja. Mukena yang dipakainya Shalat Isya bel...
Kata Bijak
Apapun harapan dan cita-citamu, semua tergantung kepadamu. Meski bantuan dari oranglain akan sangat bermanfaat, namun sangat kecil bagian dari pencapaian yang kau raih. Usahamu adalah jalanmu untuk menjadi yang kau inginkan. Oleh karena itu, apapun yang telah kau raih dan dapatkan adalah karena dirimu. Senang atau tidak senang terhadap keadaanmu sekarang adalah akibat dari dirimu sendiri. Jadilah dirimu sendiri adalah jalan yang terbaik dan terindah dalam arung kehidupan ini. MS2
Mengenai Saya
![Foto saya](http://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFMkn7MFctRwZg9qGMMDTiPKVwrGEa956KmIS57cLnQqZkXjqgbPSHd-RbC47mhtpGgjubnx8e4YBOSuD0PKH1BCR7t5PLlxG7aMtUjx5Zi6c39UbJaVyhZiWVYNCpFaU/s220/scan0008.jpg)
- Muh. Syukur Salman
- Parepare, Sulawesi Selatan, Indonesia
- Lahir di Parepare, 35 tahun yang lalu tepatnya tanggal 14 Agustus 1973. Menyelesaikan pendidikan tertingginya di Universitas Negeri Makassar tahun 2004 pada jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. Profesi keseharian adalah Kepala SD Negeri 71 Kota Parepare, Sulawesi Selatan. Kegemaran dibidang tulis menulis juga membuatku telah menerbitkan 3 buku cerita anak, 1 buku kumpulan ESAI/OPINI pendidikan, dan 1 buku kumpulan cerpen remaja Islam. Mempunyai dua anak berumur 4 tahun yang laki-laki bernama Muh. Uswah Syukur dan berumur 2 tahun yang perempuan bernama Sitti Hasanah Syukur,serta seorang istri cantik bernama Mukrimah.
0 komentar:
Posting Komentar