Guru VS Nazaruddin(isme)

Minggu, 02 Oktober 2011


Profesi guru sangat kental dengan keteladanan dan penegakan etika. Guru pada semua jenjang pendidikan memang telah menyatu dengan diri mereka suatu tugas mendidik yang arahnya pada terciptanya perilaku yang normatif dan terpuji. Khusus guru pada tingkat satuan pendidikan Sekolah Dasar (SD), hal yang melekat pada profesi guru tersebut, lebih kental dan utama. Penanaman nilai-nilai moral, agama, dan karakter selalu menjadi bagian dari proses belajar mengajar di kelas. Selain sebagai tuntutan, juga sebagian besar guru telah menjadikan sebagai bagian integrasi dengan materi yang diajarkannya. Guru SD bahkan menjadikan sikap dan etika sebagai penilaian utama seorang siswa berhasil atau tidak pada saat kenaikan kelas.


Semua keterkaitan yang tak terpisahkan antara guru dengan mendidik anak-anak bangsa ini menjadi baik dan normatif, pada saat ini seakan hanya menjadi sejarah. Realita memperlihatkan sistem pendidikan kita yang telah dirancang sedemikian “anggunnya” serta mengeluarkan pendanaan yang luar biasa besarnya, ternyata memunculkan praktek-praktek yang jauh dari nilai-nilai etika tadi. Tawuran, contek massal, free sex, serta beberapa kebobrokan prilaku guru sendiri, telah tersaji nyata di tengah-tengah masyarakat luas. Kemana jiwa mendidik guru-guru yang selama ini menjadi pembeda dengan profesi lainnya? Apakah para guru tidak mengaplikasikan lagi integrasi nilai-nilai etika pada materi ajar dalam proses pembelajaran?


Guru saat ini banyak yang telah frustrasi. Frustrasi melihat kondisi bangsa yang semakin tak terkendali lajunya ke arah kebobrokan. Guru yang bertahan dengan konsistensi terhadap profesi pendidik, bisa dikatakan guru-guru yang memunyai “benteng isolatif” terhadap kondisi saat ini. Bagaimana tidak? Negeri ini telah berlaku tidak adil terhadap guru. Guru yang memunyai beban profesi sebagai pendidik etika dan nilai-nilai terpuji anak-anak bangsa, telah dilecehkan oleh negeri ini sendiri. Secara gamblang dan fulgar, kekacauan dan kebobrokan dalam mengurusi negeri ini tersaji tanpa batas di depan hidung para anak-anak bangsa yang akan menjadi penerus estafet kepemimpinan. Dimana wibawa seorang guru akan ditempatkan, jika apa yang mereka “petuahkan” tentang nilai-nilai kebajikan kepada para siswanya, hanya menjadi bahan lelucon oleh para petinggi bangsa ini. Bagaimana siswa bisa memercayai “nyanyian” gurunya tentang etika, jika para pejabat dan pemimpin negeri ini tak lagi beretika. Teladan para siswa hanyalah fatamorgana, karena yang nyata tak ada lagi yang dapat dijadikan teladan di negeri ini.


Sambung menyambung kenistaan para elite bangsa ini menyeruak ke permukaan. Kasus satu belum tuntas, muncul kasus yang lain, silih berganti. Terakhir, kasus Nazaruddin yang sungguh mencengangkan dan membuat bangsa ini “malu” terhadap negerinya sendiri. Sementara rakyat masih memikirkan untuk mendapatkan lima ribuan untuk makan keluarganya, para pejabat dan pengurus negeri ini telah “melahap” miliaran rupiah hanya demi “kecongkakan politik” mereka. Kelumrahan dan keumuman dalam praktek korupsi saat ini telah familiar oleh bangsa ini. Begitu lumrahnya, sehingga masyarakat hampir tak heran lagi, jika ada seorang pejabat atau petinggi yang terindikasi korupsi. Pertanyaanya, tak lagi mengatakan: mengapa dia korupsi? Tetapi, yang lebih sering adalah: berapa yang dia korupsi? Proyek, identik dengan fee. Jabatan, identik dengan suap. Pengurusan, identik dengan balas jasa. Menjadi petinggi, identik dengan money politic. Semuanya itu sudah lumrah, dan jika tidak demikian, menjadi sesuatu yang unik. Inilah semuanya yang menjadikan usaha guru sebagai profesi pendidik telah patah arang.


“Nazaruddin” di republik ini sangat banyak dan telah merambah ke semua lini aktifitas, terutama di level elite tentu saja. Jika di Jepang beberapa tahun lalu terbit sebuah buku tentang kiat bunuh diri, mungkin akan laris manis jika di Indonesia ada buku tentang kiat melakukan korupsi yang aman. Orang-orang yang dulu dalam materi ajar pendidikan kita menjadi panutan bagi para siswa, seperti pejabat tinggi (menteri), anggota DPR, dan para pengusaha sukses, saat ini justru harus “dijauhi”. Tapi, jika demikian, haruskah para guru saat ini memperlihatkan contoh seorang abang becak yang jujur, seorang pengangguran yang tidak mau menyuap untuk menjadi PNS, atau seorang tukang gali selokan yang meski penghasilan sedikit asalkan halal? Jadi, saat ini untuk apa sekolah tinggi, jika nantinya yang baik itu hanya orang-orang yang meski tak sekolah pun bisa, dan justru yang menjadi teloran sekolah tinggi bahkan sangat tinggi, hanya menjadi “setan yang nyata”.


Sistem ala Nazaruddin memang sebuah “loncatan” dalam kegandrungan korupsi saat ini. Jika trend “menistakan” negeri ini mengikuti “Nazaruddinisme” maka yakinlah bahwa guru semakin menghadapi tantangan yang sangat berat. Meski Kemendiknas secara formal telah mencanangkan pendidikan karakter, namun realita lebih memengaruhi psikis siswa. Betul, para siswa mendapatkan “angin sejuk” kehidupan di sekolah, kalau itupun jika sekolahnya benar-benar sarana pendidikan, tetapi sepulang sekolah mereka kembali pada kenyataan di lingkungan masyarakat yang banyak tawuran, saling serang antarmereka yang hanya dibatasi got kecil, termasuk dalam mengakses informasi tentang hilangnya sendi-sendi karakter bangsa yang dulu sangat kita banggakan.


Meski berat, tentu guru harus maju untuk melawan Nazaruddinisme tersebut. Ini demi bangsa yang kita cintai bersama. Walau kerja seorang guru dalam aktifitas mendidik etika siswa dikatakan sangat kecil pengaruhnya dalam merobah prikehidupan bangsa yang carut marut ini, namun tentu akan lebih baik ketimbang guru hanya melanjutkan frustrasinya. Mulai dari sekarang, dan mulai dari kita seorang guru. Nazaruddinisme akan semakin merajalela jika guru tidak bersatu dalam melawannya. Setelah kesedihan akan muncul kegembiraan, demikianlah selalu filosofi yang harus menjadi pendorong semangat guru untuk tetapi menjadi profesi terdepan dalam menegakkan etika bangsa ini. SEKIAN.

0 komentar:

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum