Terenyuh dan miris membaca reportase berseri dari surat kabar
ini tentang prostitusi di kalangan pelajar Parepare. Sepengetahuan penulis,
informasi dari reportase itu merupakan “tamparan” paling keras terhadap dunia
pendidikan di kota bervisi pendidikan ini. Reportase yang mengungkap adanya
beberapa pelajar wanita SMA bahkan diduga juga ada SMP yang “menjajakan”
dirinya di dunia hitam. Lebih tragis lagi, karena reportase itu juga menyebutkan
bahwa ada guru yang terlibat di dalam “bisnis seks” tersebut, bahkan menjadi
pelaku dan penikmat siswanya. Meski reportase Parepos tersebut tak satupun nama
yang disebutkan, namun tentu pihak media paling eksis di Parepare dan
sekitarnya ini memiliki bukti dan dasar yang kuat atas kebenaran reportase yang
menghebohkan itu.
Dunia pendidikan yang sejatinya steril dari perbuatan dan
prilaku tercela seperti itu ternyata justru dilakukan oleh guru dan siswa, faktor
utama dalam pendidikan itu sendiri. Guru, sejatinya merupakan teladan bagi
siswa. Keteladanan ini pulalah yang membedakan antara guru dan bukan guru,
bukan sekadar pengetahuan keilmuannya. Ketercelaan prilaku siswa adalah imbas
dari kurangnya perhatian guru (termasuk orangtua) dalam memberikan keteladanan
sikap terpuji. Sebagai seorang guru, tercelanya sikap siswa haruslah menunjuk
pada diri sendiri. Tidak perlu menyalahkan pihak atau orang lain, tetapi harus
cek and ricek diri sendiri sebagai seorang pendidik. Lingkup yang lebih besar,
tentu mengarah pada sejauh mana pemerintah (dinas pendidikan) melakukan
pembinaan etika di institusi-institusi pendidikan binaannya. Tentu bukan
sesuatu yang salah jika dinas pendidikan antusias meningkatkan kualitas
akademik guru dan siswa, namun bukan sesuatu yang bijak jika meninggalkan
perhatian terhadap nilai-nilai etika pendidik dan siswa di sekolah.
Reportase yang mengungkap dunia hitam pada unsur pendidikan
di Parepare harus menjadi shockterapy untuk menyadarkan semua pihak bahwa ada
sesuatu yang tertinggal dalam pembinaan pendidikan khususnya di satuan
pendidikan. Jika di Sekolah Dasar (SD) unsur etika sangat menjadi perhatian
para guru, mengapa di SMP dan SMA hal tersebut terasa sudah ditinggalkan.
Pendidik bukan hanya guru agama dan PKn saja, tetapi semua guru harus
memerhatikan sikap dan prilaku siswanya. Bahkan, dianjurkan agar guru pada saat
memberikan penilaian kepada siswa harus memperimbangkan etika atau prilaku
siswa yang bersangkutan. Namun, adalah sesuatu kesalahan fatal jika guru
mengharapkan siswa berprilaku normative, tapi diri sendiri jauh dari sikap
terpuji, seperti kasus dalam reportase tersebut. Adanya dugaan guru menjadi
pelaku utama kebejatan itu adalah sesuatu yang tak dapat ditolerir (jika itu
benar). Pilihan profesi guru tentu memunyai konsekuensi tersendiri, hal itu tak
dapat dihindari oleh guru. Konsekuensi utama yang selalu menjadi perhatian
masyarakat adalah sikap dan prilaku guru. Bagaimana guru bersikap “harus” lebih
baik dari orang yang bukan guru. Cara berpakaian, bicaranya, jalannya,
interaksi dengan tetangga, bahkan sampai tertawa sekalipun harus lebih “anggun”
dibanding yang bukan guru. Jika ada guru yang tertawa terbahak-bahak saja,
contohnya, tentu mengundang celaan dari orang lain yang menganggapnya tak
pantas untuk dilakukan seorang guru. Itulah konsekuensi yang harus diterima
guru, meskipun semua orang tahu bahwa guru juga manusia biasa.
Meski merupakan “tamparan keras” namun pengungkapan prihal
dunia hitam tersebut patut diapresiasi sebagai bentuk control social oleh media
dan penyadaran bahwa ada hal yang mesti mendapat respon segera. Harapannya,
dinas pendidikan dan sekolah telah melakukan langkah-langkah tepat , sejak hari
pertama reportase tersebut dibaca publik. Masyarakat Parepare sebagai pihak
yang juga mendapat imbas “hitam” dari reportase itu tentu sangat mengharap ada
langkah-langkah kongkrit yang dilakukan pihak-pihak yang berkompeten dalam
menyelesaikan masalah yang memalukan ini. Langkah yang cepat dan
berkesinambungan perlu segera dilakukan. Tentu harapannya tindakan yang diambil
tidak sekadar mencari tahu pelaku dan memberinya hukuman setimpal, tetapi lebih
dari itu. Pembinaan etika harus menjadi program yang berkesinambungan di dinas
pendidikan dan satuan pendidikan. Tanpa hal tersebut dilakukan, mungkin kejadian
kali ini akan terselesaikan, tetapi tak menjamin kejadian serupa akan terjadi
kembali , karena akar permasalahannya tak dibenahi, yakni permasalahan etika
guru dan siswa. SEKIAN.
0 komentar:
Posting Komentar