Dunia Pendidikan Parepare Mendapat Tamparan Keras

Senin, 07 Oktober 2013

Terenyuh dan miris membaca reportase berseri dari surat kabar ini tentang prostitusi di kalangan pelajar Parepare. Sepengetahuan penulis, informasi dari reportase itu merupakan “tamparan” paling keras terhadap dunia pendidikan di kota bervisi pendidikan ini. Reportase yang mengungkap adanya beberapa pelajar wanita SMA bahkan diduga juga ada SMP yang “menjajakan” dirinya di dunia hitam. Lebih tragis lagi, karena reportase itu juga menyebutkan bahwa ada guru yang terlibat di dalam “bisnis seks” tersebut, bahkan menjadi pelaku dan penikmat siswanya. Meski reportase Parepos tersebut tak satupun nama yang disebutkan, namun tentu pihak media paling eksis di Parepare dan sekitarnya ini memiliki bukti dan dasar yang kuat atas kebenaran reportase yang menghebohkan itu.

 
Dunia pendidikan yang sejatinya steril dari perbuatan dan prilaku tercela seperti itu ternyata justru dilakukan oleh guru dan siswa, faktor utama dalam pendidikan itu sendiri. Guru, sejatinya merupakan teladan bagi siswa. Keteladanan ini pulalah yang membedakan antara guru dan bukan guru, bukan sekadar pengetahuan keilmuannya. Ketercelaan prilaku siswa adalah imbas dari kurangnya perhatian guru (termasuk orangtua) dalam memberikan keteladanan sikap terpuji. Sebagai seorang guru, tercelanya sikap siswa haruslah menunjuk pada diri sendiri. Tidak perlu menyalahkan pihak atau orang lain, tetapi harus cek and ricek diri sendiri sebagai seorang pendidik. Lingkup yang lebih besar, tentu mengarah pada sejauh mana pemerintah (dinas pendidikan) melakukan pembinaan etika di institusi-institusi pendidikan binaannya. Tentu bukan sesuatu yang salah jika dinas pendidikan antusias meningkatkan kualitas akademik guru dan siswa, namun bukan sesuatu yang bijak jika meninggalkan perhatian terhadap nilai-nilai etika pendidik dan siswa di sekolah.


Reportase yang mengungkap dunia hitam pada unsur pendidikan di Parepare harus menjadi shockterapy untuk menyadarkan semua pihak bahwa ada sesuatu yang tertinggal dalam pembinaan pendidikan khususnya di satuan pendidikan. Jika di Sekolah Dasar (SD) unsur etika sangat menjadi perhatian para guru, mengapa di SMP dan SMA hal tersebut terasa sudah ditinggalkan. Pendidik bukan hanya guru agama dan PKn saja, tetapi semua guru harus memerhatikan sikap dan prilaku siswanya. Bahkan, dianjurkan agar guru pada saat memberikan penilaian kepada siswa harus memperimbangkan etika atau prilaku siswa yang bersangkutan. Namun, adalah sesuatu kesalahan fatal jika guru mengharapkan siswa berprilaku normative, tapi diri sendiri jauh dari sikap terpuji, seperti kasus dalam reportase tersebut. Adanya dugaan guru menjadi pelaku utama kebejatan itu adalah sesuatu yang tak dapat ditolerir (jika itu benar). Pilihan profesi guru tentu memunyai konsekuensi tersendiri, hal itu tak dapat dihindari oleh guru. Konsekuensi utama yang selalu menjadi perhatian masyarakat adalah sikap dan prilaku guru. Bagaimana guru bersikap “harus” lebih baik dari orang yang bukan guru. Cara berpakaian, bicaranya, jalannya, interaksi dengan tetangga, bahkan sampai tertawa sekalipun harus lebih “anggun” dibanding yang bukan guru. Jika ada guru yang tertawa terbahak-bahak saja, contohnya, tentu mengundang celaan dari orang lain yang menganggapnya tak pantas untuk dilakukan seorang guru. Itulah konsekuensi yang harus diterima guru, meskipun semua orang tahu bahwa guru juga manusia biasa.



Meski merupakan “tamparan keras” namun pengungkapan prihal dunia hitam tersebut patut diapresiasi sebagai bentuk control social oleh media dan penyadaran bahwa ada hal yang mesti mendapat respon segera. Harapannya, dinas pendidikan dan sekolah telah melakukan langkah-langkah tepat , sejak hari pertama reportase tersebut dibaca publik. Masyarakat Parepare sebagai pihak yang juga mendapat imbas “hitam” dari reportase itu tentu sangat mengharap ada langkah-langkah kongkrit yang dilakukan pihak-pihak yang berkompeten dalam menyelesaikan masalah yang memalukan ini. Langkah yang cepat dan berkesinambungan perlu segera dilakukan. Tentu harapannya tindakan yang diambil tidak sekadar mencari tahu pelaku dan memberinya hukuman setimpal, tetapi lebih dari itu. Pembinaan etika harus menjadi program yang berkesinambungan di dinas pendidikan dan satuan pendidikan. Tanpa hal tersebut dilakukan, mungkin kejadian kali ini akan terselesaikan, tetapi tak menjamin kejadian serupa akan terjadi kembali , karena akar permasalahannya tak dibenahi, yakni permasalahan etika guru dan siswa. SEKIAN.

0 komentar:

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum