Semua guru mengharapkan agar semua yang diajarkan kepada
siswanya dapat diterima dengan baik. Meski demikian, tidak semua guru berusaha
agar harapannnya itu dapat menjadi kenyataan. Tentu banyak hal yang harus
diusahakan agar keinginan dan harapan guru tersebut membuahkan hasil. Tidak
sekadar hanya menggugurkan kewajiban dengan mengajar, selanjutnya menanti
hasil. Padahal, yang terpenting
sebenarnya adalah faktor siswa yang sering hanya menjadi objek. Guru yang
berhasil tergantung dari siswanya. Oleh karena itu, adanya penolakan dari siswa
untuk menerima “pemberian” gurunya tentu menjadi penghambat utama. Meski
sepintar apapun guru tersebut dan secanggih apapun alat serta metode yang
dilakukan dalam pembelajaran, jika siswa tak mau, tidak akan berhasil.
Kondisi Pembelajaran
Proses pembelajaran yang berlangsung di kelas merupakan
bentuk hubungan yang nyata antara guru dan siswa. Meski hubungan ini
berlangsung hampir setiap hari, namun banyak menciptakan kondisi yang tak
terduga. Kenakalan dan ketidakpatuhan siswa kepada gurunya masih saja banyak
ditemui. Tidak hanya itu, keluhan guru terhadap siswanya yang tak mampu
menerima pelajaran dengan baik, adalah sesuatu yang umum. Rutinitas hubungan
guru dengan siswa hanya sebagai sesuatu yang harus terjadi tanpa ada pilihan.
Guru ditugaskan untuk mengajar siswa, sedangkan siswa mengemban tugas untuk
menerima dari gurunya.
Ketimpangan dalam proses pembelajaran yang mendudukkan guru
lebih segalanya dari siswa, masih berlangsung. Sekadar menjalankan tugas, juga
sering menjadi pilihan seorang guru melakukan kewajiban yang diembannya. Masih banyak guru yang tak mau risau dengan
adanya siswa yang lambat belajar. Bahkan sebagian guru lainnya memosisikan
dirinya sebagai orang yang harus dilayani oleh siswa. Sekurang-kurangnya, siswa
harus patuh tanpa banyak tanya tentang apa yang diberikan oleh gurunya.
Kekakuan dan rutinitas merupakan gambaran nyata terhadap kondisi pembelajaran
sampai saat ini. Guru bertanya dan siswa harus menjawab. Guru memerintah dan
siswa harus menjalankannya.
Pada hakekatnya guru hanya dapat dikatakan guru jika sedang
berhadapan dengan siswanya. Siswa merupakan alas an adanya guru, sehingga tak
patut jika guru justru menganggap siswa merupakan beban. Siswa haruslah menjadi
pusat pembelajaran karena keberadaan institusi seperti sekolah dan seluruh
sistem yang ada di dalamnya, diperuntukkan kepada siswa. Untuk itu, berhasil
tidaknya seorang guru ditentukan secara nyata oleh siswanya. Guru tak boleh hanya berkutat pada dirinya
sendiri. Sesuatu yang menjadi paling utama dari keberadaannya sebagai seoarang
guru adalah siswa.
Siswa Harus Gembira
Tanpa kata terucap, bisa saja siswa menolak apa yang
diberikan oleh gurunya. Kesal terhadap kekakuan dan rutinitas pembelajaran yang
diciptakan oleh gurunya. Wajar jika ada saja siswa yang tak suka dengan cara
dan teknik guru dalam menjalankan tugasnya. Kesibukan guru agar tampil dengan
baik dalam prosses pembelajaran sering menjadi faktor utama mereka melupakan
siswanya. Apa yang sebenarnya diinginkan siswa, tak lagi menjadi yang utama.
Kesiapan siswa untuk menerima yang diberikan oleh guru menjadi sesuatu yang
mutlak harus ada. Jika perlu, guru memberikan porsi yang lebih utama terhadap
kesiapan siswa tersebut. Kesiapan yang datang dari dalam diri siswa itu
sendiri. Meski datang dari dalam diri siswa, tetapi gurulah yang berkewajiban
untuk membangkitkan kesiapan tersebut.
Oleh karena itu, tak lain yang harus dilakukan guru adalah
memunculkan dan membangkitkan kegembiraan siswa. Siswa yang gembira terhadap
gurunya tentu akan dengan senang dan ikhlash menerima apa yang diberikan guru
kepadanya. Kegembiraan inilah yang mesti selalu menjadi tanda tanya guru,
apakah siswa yang dihadapinya telah bergembira dengan kehadirannya. Jika ya,
maka proses pembelajaran akan berjalan sesuai harapan dan maksimal. Jika
kegembiraan siswa adalah factor utama berterimanya apa yang akan diberikan
guru, maka jika perlu guru “mengais” kegembiraan siswa tersebut.
Beberapa usaha guru, agar siswa bergembira antara lain; jalin
hubungan yang psikologis yang serupa dengan orangtua terhadap anak kandung,
tampilan kelas atau suasana kelas yang familiar tanpa ada sekar kekakuan
otoritas guru, serta nampakkan guru yang
murah senyum bahkan humoris. Mengondisikan kegembiraan siswa tentu bukanlah
sesuatu yang mudah. Guru harus memunyai kreativitas-kreativitas dalam hal ini.
Tidak sekadar mencoba sekali saja tetapi harus berulang kali. Bukan hanya segi
kuantitas, tetapi harus juga pada sisi kualitas. Teknik dan kiat dalam membuat
gembira siswa harus selalu diusahakan karena kegembiraan siswa kepada gurunya
adalah inti keberhasilan tujuan yang diharapkan oleh guru. Oleh karena itu, tak
salah kiranya jika guru berdoa agar siswanya bergembira selalu. SEKIAN.
0 komentar:
Posting Komentar