Ujian Nasional akhirnya tiba juga pelaksanaannya. Kisruh dan gonjang-ganjing yang mendahului pelaksanaan UN ternyata hilang ditelan “keangkerannya”. Segala “ritual” pun diadakan beberapa sekolah di Republik ini dalam menghadapi UN tahun ini. Meski pemerintah telah mewacanakan bahwa UN tahun ini adalah terakhir kalinya, namun tidak ada kepastian pengganti UN dan juga belum ada kepastian pengganti UN tidak lebih “seram” dari UN itu sendiri. Bagaikan akan mengarungi lautan bara api, mayoritas siswa dan juga sekolah merasa ketakutan menghadapinya. Suara-suara merdu tentang ketidakkhawatiran menghadapi UN hanyalah merupakan bungkusan dari kasak kusuk menghadapi hari H tersebut. Bukannya tanpa alasan, bayangkan jika beberapa siswa pintar di banyak sekolah, justru mendapat kenyataan tidak lulus dalam UN. Belajar keras, betul akan membuat pintar, namun belum tentu dapat membuat siswa tersebut lulus. Tragis.
Munculnya cara-cara kurang terpuji dalam menempuh UN akhirnya seakan mendapat legalitasnya. Menunggu dan mencari kunci jawaban akhirnya menjadi solusi sebagian siswa menghadapi UN. Kurang terpuji? Memang. Namun, kesalahan tidak harus ditimpakan kepada siswa semata-mata. Mereka tak bisa dibutakan dengan kenyataan-kenyataan akhir dari pelaksanaan UN tahun-tahun yang lalu. Apalagi, mereka berada di akhir masa menjadi seorang siswa di satuan pendidikan tersebut. Kepercayaan diri, hampir-hampir tidak bisa lagi mempengaruhi sebagian siswa dalam menghadapi UN. Meski kelemahan UN telah memasyarakat, namun hasil dari UN tersebut masih menjadi patokan “sanjungan” atau “cibiran” yang akan diterima siswa bahkan keluarganya dalam masyarakat. Dan, itu terus terkenang lama bahkan dapat selamanya. Hal inilah semua yang menjadikan UN tersebut sebagai sentra “ketakutan” massal siswa dan masyarakat kita.
UN telah tiba. Itu adalah kenyataan saat ini yang tak dapat diutak atik lagi. Tinggal sekarang, bagaimana menghadapinya dengan sepenuh hati dan masanya untuk pasrah. Jika selama 3 tahun telah berusaha keras dengan belajar, Alhamdulillah. Tentu hal tersebut sudah merupakan modal yang baik dalam menghadapi UN, namun bukan tempatnya membanding hasilnya dengan siswa yang kurang belajar selama ini. Jika memang belum maksimal belajarnya, wajar jika ada kekhawatiran seperti halnya kekhawatiran siswa yang telah intens belajar, namun masih ada sedikit waktu untuk menyesal yang diiringi dengan belajar ringan seadanya, siapa tahu yang kita pelajari sedikit itu, berkorelasi dengan item soal UN tahun ini. Waktu yang kasip ini tidak perlu diporsir untuk krusak krusuk mencari kunci jawaban. Hal tersebut dapat mencederai eksistensi kita sebagai pembelajar di ujung-ujung masa pembuktian bahwa kita selama 3 tahun betul-betul bersekolah.
Akhirnya, semua itu hanya akan menjadi cerita dari kenyataan akhir setelah ujian nantinya. Bagi yang telah belajar maksimal selama ini, semoga mendapat balasan kemampuan untuk mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya dari Allah Yang Maha Kuasa. Begitu pula bagi yang kurang maksimal belajar, semoga usaha keras sedikit dan penyesalan yang mendalam, dapat pula dimaklumkan oleh Khalik kita untuk memberikan hasil positif. Bagi yang tidak kedua-duanya dan yang hanya berusaha jalan pintas (menunggu kunci jawaban), semoga Tuhan juga memberikan yang terbaik baginya. Semua akhirnya adalah hasil keputusan Yang Maha Segalanya, tak ada yang lain. Ini adalah keyakinan yang wajib dan harus tertanam pada diri siswa terutama yang menempuh UN tahun ini. Bahwa UN bukan segalanya. Gagal di UN bukanlah kiamat. Jika kita mengaku sebagai hamba-Nya maka apapun yang kita telah usahakan, saatnya sekarang untuk pasrah kepada-Nya. Dialah penentu segalanya di muka bumi ini.
Tak ada kata terlambat untuk kembali kepada-Nya. Perbanyak mengingat-Nya dengan melaksanakan Shalat Tahajjudi misalnya, tentu suatu solusi kekhawatiran yang sangat terpuji. Kehendak-Nya tak ada seorang pun yang dapat menghalanginya, bahkan sebuah kunci jawaban asli sekali pun. UN hanya merupakan ujian kecil dari-Nya untuk para siswa yang akan menghadapinya. Sejauh mana siswa masih meyakini keMahaKuasaanNya atas segalanya dapat terukur dengan pelaksanaan UN ini. Jika keyakinan tersebut sudah berdarah dan berdaging pada diri siswa, maka apalagi kekhawatiran yang bisa muncul dengan pelaksanaan UN tersebut? Memasrahkan diri pada-Nya pada detik-detik menentukan ini merupakan keharusan sehingga kekhawatiran atas ketidakmampuan kita dapat hilang dengan bekhap dari-Nya. Bismillah, mulailah mengingat dan menyebut nama-Nya dalam menghadapi UN, Insya Allah yang terbaik akan datang. Selamat kepada semua siswa yang tahun ini ber UN ria, senyum dan tertawalah menghadapinya. Bismillah…. SEKIAN
Label:
un
UN, BISMILLAH....
Muh. Syukur Salman
Jumat, 12 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
Akses internet yang cepat adalah dambaan semua orang yang aktif memanfaatkan internet sebagai sarana pendukung aktifitasnya. Tak terkecuali...
-
Secara formal memang tidak dikenal istilah sekolah favorit di Negeri ini. Namun, hampir di setiap daerah, sekolah favorit tetap ada dan sema...
-
Banyak pihak yang akhir-akhir ini meragukan efektifikasi program sertifikasi guru dapat meningkatkan professionalisme pahlawan tanpa tanda j...
-
Kata Baskom, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “tempat air untuk cuci tangan atau muka”. Namun, pada umumnya ibu r...
-
Malam semakin larut, namun mata Rina belum dapat dipejamkan. Degupan jantungnya semakin kencang saja. Mukena yang dipakainya Shalat Isya bel...
Kata Bijak
Apapun harapan dan cita-citamu, semua tergantung kepadamu. Meski bantuan dari oranglain akan sangat bermanfaat, namun sangat kecil bagian dari pencapaian yang kau raih. Usahamu adalah jalanmu untuk menjadi yang kau inginkan. Oleh karena itu, apapun yang telah kau raih dan dapatkan adalah karena dirimu. Senang atau tidak senang terhadap keadaanmu sekarang adalah akibat dari dirimu sendiri. Jadilah dirimu sendiri adalah jalan yang terbaik dan terindah dalam arung kehidupan ini. MS2
Mengenai Saya

- Muh. Syukur Salman
- Parepare, Sulawesi Selatan, Indonesia
- Lahir di Parepare, 35 tahun yang lalu tepatnya tanggal 14 Agustus 1973. Menyelesaikan pendidikan tertingginya di Universitas Negeri Makassar tahun 2004 pada jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. Profesi keseharian adalah Kepala SD Negeri 71 Kota Parepare, Sulawesi Selatan. Kegemaran dibidang tulis menulis juga membuatku telah menerbitkan 3 buku cerita anak, 1 buku kumpulan ESAI/OPINI pendidikan, dan 1 buku kumpulan cerpen remaja Islam. Mempunyai dua anak berumur 4 tahun yang laki-laki bernama Muh. Uswah Syukur dan berumur 2 tahun yang perempuan bernama Sitti Hasanah Syukur,serta seorang istri cantik bernama Mukrimah.
0 komentar:
Posting Komentar