Pencanangan penumbuhan budi pekerti
siswa melalui kegiatan non kurikuler di sekolah oleh Mendikbud adalah sesuatu
yang perlu mendapat apresiasi positif dari semua kalangan. Ini menunjukkan bahwa
pihak pemerintah telah menyadari bahwa persoalan budi pekerti anaak bangsa
telah mendekati titik nadir. Istilahnya pun telah ditingkatkan menjadi
‘penumbuhan’ bukan lagi sekadar ‘penanaman’. Pemilihan kata ‘penumbuhan’
mengandung nilai lebih, karena jelas diawali dengan ‘penanaman’ selanjutnya ‘penyiraman
dan pemupukan’ dan barulah ‘proses tumbuh’, terakhir ‘pemeliharaan’.
Pada saat istilah ‘penanaman budi
pekerti’ yang dipakai, maka yang menjadi sorotan utama adalah guru. Bagaimana
guru menjalankan tugasnya dalam memberikan penanaman budi pekerti kepada
siswanya, menjadi hal yang sangat prinsip. Padahal, yang menjadi inti dari
kesadaran akan pentingnya budi pekerti tersebut adalah hasil yang tampak dari
sikap dan prilaku siswa. Konsekuensinya banyak guru menjalankan tugas ini
sebagai formalitas saja atau sekadar menggugurkan kewajiban.
Contoh penumbuhan budi pekerti siswa
di sekolah melalui kegeiatan non kurikuler, yang dirilis kemendibud sebenarnya
hampir seluruhnya telah terlaksana di sekolah. Berdoa sebelum pelajaran
dimulai, menyanyikan lagu nasional dan daerah, upacara bendera pada hari Senin,
senam pagi, piket kebersihan kelas, membuang sampah pada tempatnya, dan lainnya
adalah semua aktivitas yang sudah terlaksana di sekolah. Jadi, apa yang baru dengan
aktivitas penumbuhan budi pekerti siswa yang dicanangkan bersamaan dengan
masuknya tahun pelajaran 2015/2016 ini? Semua aktivitas yang dicontohkan tak
ada yang baru. Esensi dan filosofi istilah ‘penumbuhan’, itulah yang baru!
Banyak hal yang harus menjadi
perhatian sekolah khususnya guru dalam melaksanakan program ini. Namun yang
paling utama adalah seperti penjelasan di awal tulisan ini berkenaan perbedaan
esensi kata ‘penumbuhan’. Guru dituntut untuk tidak menjadikan tugas mulia ini
sekadar formalitas belaka, tetapi menjadikannya sebagai amanah dan kewajban
dalam memperbaiki budi pekerti anak bangsa. Oleh karena itu, aplikasi dari budi
pekerti siswa harus menjadi hal utama dalam keseluruhan tugas penumbuhan budi
pekerti tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah: bagaimana keyakinan terhadap tumbuhnya
budi pekerti siswa akan terwujud? Keteladanan, jawabannya.
Keteladanan dari guru adalah
segalanya. Semua guru mungkin sukses menanamkan budi pekerti kepada siswanya,
apalagi hanya sekadar teori dan retorika belaka. Tetapi banyak guru yang
kesulitan dalam menumbuhkan budi pekerti kepada anak didiknya, disebabkan
kurangnya keteladanan. Meminta siswa tepat waktu sedangkan gurunya sering
terlambat, melarang merokok sementara gurunya “ahli hisap”, harus tertib dalam
upacara tetapi sang guru asyik ngobrol, dan contoh sejenis lainnya yang jika
benar tentu saja tak bisa diharapkan budi pekerti siswa akan tumbuh. Oleh
karena itu, sejatinya budi pekerti harus tumbuh terlebih dahulu dari guru.
Dapat juga sebenarnya menjadikan tugas penumbuhan budi pekerti ini, menjadi
momen yang tepat untuk guru introspeksi budi pekerti pribadi. SEKIAN.
0 komentar:
Posting Komentar