Fenomena Bunuh Diri Anak

Minggu, 18 Mei 2008



Sungguh memilukan kejadian akhir-akhir ini pada dunia anak di negeri ini. Kasus bunuh diri pada anak telah terjadi sekian banyak. Komentar dan pendapat pun berdatangan, mulai dari masyarakat awam sampai pada para ahli anak menanggapi hal tersebut. Ada apa dengan dunia anak kita? Mengapa seorang anak mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya dengan gantung diri misalnya, atau menenggak cairan pembasmi serangga. Mengapa trend “ngambek” nya anak saat ini begitu tragis, bunuh diri? Apa yang salah dari semua yang kita lakukan padanya? Pertanyaan-pertanyaan itu tentu saja secara spontanitas akan menghadang di depan kita saat ini menaggapi fenomena bunuh diri pada anak.
Suatu hal yang sangat dekat dengan anak sekaligus menjadi bahan sorotan jika kejadian semacam ini terjadi adalah Pendidikan. Apakah pantas kita mempertanyakan peran pendidikan dalam kasus-kasus semacam ini? Tentu ! Hal ini berhubungan langsung dengan pendidikan. Jadi, apa yang salah dengan pendidikan kita saat ini? Padahal kita ketahui pendidikan mengharapkan sesuatu menjadi lebih baik dari segi psisik maupun non pisik. Namun, mengapa hal ini masih terjadi bahkan gejalanya semakin sering?
Pendidikan kita masih gencar dengan teori, dogma, dan hal-hal “lipstik” semata. Pendidikan kita belum menekankan pada praktis dan realita. Bahkan teori praktis dan realita dalam menerapkan pendidikan gencar kita dengar padahal kenyataannya hanya sampai ngomong dan penataran saja. Pendidikan kita lebih mementingkan laporan dan administrasi yang lengkap, terperinci, dan bagus dibanding harus mengadakan observasi dan penelitian di lapangan.
Dengan keadaan yang demikian menuntut sebagian besar guru sebagai ujung tombak pendidikan yang sangat dekat dengan anak (siswa) juga ikut-ikutan berpikiran teoritis saja. Sistem pelaporan “ABS” dikedepankan disbanding kenyataan di lapangan yang dilihat dan bergumul langsung dengannya. Kondisi dan keadaan anak bukanlah menjadi hal yang penting buat seorang guru. Kebanyakan guru menghendaki hal yang sama pada siswanya, bahkan yang lebih tragis lagi guru menghendaki siswanya berprilaku seperti layaknya orang dewasa dengan perumpamaan gurunya. Mereka kurang memikirkan bahwa kondisi siswa adalah kondisi seoranga anak, bukan orang dewasa, bukan pula orang dewasa yang berbentuk mini.
Persoalan atau hal yang kita anggap remeh dapat saja menjadi sangat serius pada diri anak. Banyak sudah kejadian yang mengakibatkan fatal padahal alasannya Cuma sepele di mata kita orang dewasa. Sebut saja cintoh jika siswa distrap di depan kelas sambil mengangkat kaki sebelah. Mungkin hal ini sudah biasa di mata kita, baik orang dewasa maupun guru. Padahal pada diri anak, hal itu sangat mengganggu kejiwaannya. Perasaan malu pada teman-temannya dan marah pada gurunya mungkin saja muncul. Perasaan malu pada teman-temannya ini akan terekspresikan mulai saat itu dan hari-hari berikutnya, belum lagi jika teman-temannya ikut andil dalam menambah beban siswa tadi dengan mengejek atau menjauhinya. Hal ini dapat berakibat fatal sampai pada bunuh diri karena malu lagi ke sekolah.
Kondisi marah pada jiwa anak tadi, mungkin saja tak terlalu nampak pada saat-saat awal kejadian strap tadi, namun besar kemungkinan upaya balas dendam pada diri anak muncul saat anak merasa mampu membalas gurunya yaitu saat siswa tersebut menjadi dewasa. Seringlah kita dengan upaya pemukulan atau tindakan kejahatan tanpa ada klausanya, padahal rasa dendam tersebut telah dipendamnya selama bertahun-tahun lamanya.
Walaupun fenomena bunuh diri pada anak setelah dikaji tak ada hubungan langsungnya dengan pendidikan atau sekolah, namun peran aktif untuk mencegah hal tersebut mesti menjadi beban pendidikan. Jalinan hubungan baik guru (pihak sekolah) dengan anak adalah hal yang sangat perlu, namun juga diperlukan hubungan silaturrahim dengan pihak keluarga anak. Galian-galian informasi tentang keadaan anak di rumah harus sudah menjadi pengetahuan guru. Hal ini diperlukan pada saat mengambil tindakan di kelas sehingga seorang guru mampu memberikan action yang berbeda pada siswanya sesuai pengetahuan keadaan siswa oleh guru. Seorang anak yang diberitakan bunuh diri karena hal yang seperti di atas. Ketidakmampuan untuk membayar uang kegiatan sekolah yang diberikan oleh guru membuatnya malu sehingga bunuh diri. Jika seorang guru mengetahui kondisi ketidakmampuan siswa dan mengambil action yang berbeda pada siswanya, mungkin kejadian tragis tersebut tidak akan terjadi.
Suatu hal yang mungkin perlu pula menjadi sorotan adalah peran serta komite sekolah. Sudah bukan saatnya komite sekolah hanya berkutit pada pemanfaatan dana atau pencarian dana untuk memajukan sekolah. Komite Sekolah dapat kita jadikan sarana dalam mengkomunikasikan kondisi siswa, baik di sekolah maupun di rumah. Sungguh hal yang disayangkan jika hakekat pembentukan komite sekolah adalah untuk memajukan peserta didik baik dari segi intelektual maupun segi etika, tapi justru keadaan siswa atau anak tersebut tak pernah menjadi bahan pembecaraan jika pihak komite dan sekolah bertemu. Sudah saatnya hal ini terpikirkan oleh pihak komite dan pihak sekolah.
Demikianlah fenomena pada anak kita saat ini, tentu saja harapan semua pihak hal tersebut tak akan terulang lagi. Kita tidak mau mendengar lagi seorang anak mesti bunuh diri apalagi disebabkan oleh hal-hal yang semestinya harus kita ketahui dan tanggulangi. Semoga tulisan yang cukup singkat ini dapat memberi secuil jalan keluar menghindari kejadian-kejadian tragis yang terjadi pada diri anak-anak kita semua. Semoga.

0 komentar:

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum