Masa ujian Nasional baru saja berakhir, namun setumpuk permasalahan yang melingkupinya terus terdengar menjadi topic pembicaraan khususnya bagi orang-orang yang berkecimpung di dalam dunia pendidikan itu sendiri. Bukan sesuatu yang tidak ada atau sulit dibuktikan adanya kecurangan-kecurangan yang terjadi pada masa Ujian Nasional, namun hal semacam itu telah terbeber nyata dan beberapa di antaranya telah menjadi tersangka secara yuridis formal. Sebutlah beberapa kepala sekolah di Makassar dan juga beberapa guru di Sumatera yang telah nyata diketahui umum kecurangan “intelektual” yang dilakukan. Meski dibeberapa kesempatan pemerintah menyatakan berita-berita itu hanya issu belaka, namun bersamaan dengan pernyataan itu, juga diberitakan kecurangan yang terjadi itu, nyata adanya.
Perntanyaannya sekarang bahwa, apakah dari seluruh Indonesia yang melaksanakan ujian nasional hanya segelintir itu saja yang melakukan kecurangan? Jika kita persentase, maka jelas tidak lebih dari 1% saja yang bermasalah dari pelaksanaan ujian nasional pada segi jujur atau curang. Sekarang, kita melihat logika yang jelas sangat memungkinkan untuk terjadi, yakni bahwa yang melakukan kecurangan adalah sekolah. Kepala sekolah dan guru-guru sepakat untuk memanipulasi nilai atau membocorkan soal, tujuannya agar tingkat pencapaian siswanya tinggi dan tidak ketinggalan dengan sekolah lainnya. Lalu, adakah sekolah yang tidak ingin sekolahnya lebih tinggi atau menyamai atau paling banter mendekati tingkat pencapaian prestasinya dari sekolah lain? Lantas, sekolah memakai kurikulum yang sama serta tenaga pendidik yang relative sama tingkat kualitas dalam pembelajaran, sehingga pada akhirnya bentuk-bentuk kecurangan yang sama terbuka lebar terjadi pada setiap sekolah.
Mengapa system ujian nasional sebagai salah satu bentuk pelaksanaan system pendidikan nasional masih saja dipertahankan oleh pemerintah, meskipun kritikan dan tentu saja kejelasan bentuk-bentuk kecurangan masih terjadi? Secara akal sehat tentu kita membenarkan pendapat yang mengatakan bahwa kesalahan ujian nasional adalah karena pelaksanaannya 3 hari tersebut telah menentukan kelulusan seorang siswa yang telah belajar selama 3 tahun lamanya. Ada kemungkinan hari yang sangat sacral buat seorang pelajar adalah masa ujian nasional. Ada kemungkinan juga bahwa “ketakutan” mereka terhadap hari itu membuatnya gagal dalam ujian tadi. Pengalaman tahun lalu, seberapa banyak siswa yang dinyatakan diterima di perguruan tinggi ternama, justru tidak lulus ujian nasional. Mengapa demikian? Karena ujian nasional membuat siswa mengerjakan soal dalam kondisi tegang dan was-was. Pada saat itu, jelas siswa tidak focus mencurahkan kemampuannya dalam menjawab soal. Pada persoalan lain, justru item soal yang menjadi ukuran kemampuan siswa juga mendapat kritikan hebat dari pegiat Emotional Quetiont dan Spiritual Quetiont. Pihak sekolah tahu dan paham betul kondiri tersebut, sehingga akan berusaha menghindari akibatnya. Jalan pintas yang mereka lakukan adalah melakukan kecurangan.
Tidak sepatutnyalah siswa-siswa kita digagalkan oleh masa tiga hari atau bahkan tak lebih dari 15 jam saja itu. Tentu akan sangat bijaksana dan elegan jika kita melihat hasil prestasi siswa sekurang-kurangnya tiap semesternya. Nilai semester siswa jauh lebih murni merupakan hasil siswa sendiri ketimbang hasil UN itu. Hasil kumulatif semester siswa diperoleh dari enam bulan mereka belajar, dan sekian kali ulangan harian, serta sekali ulangan semester tiap enam bulan itu. Jika kita melakukan perumpamaan untuk menilai seseoarng, maka UN seperti ini: Kita menilai seseorang sehari saja, maka pada saat kita menilai orang itu berbuat pelanggaran, jadilah kita memastikan orang itu buruk prilakunya. Sebaliknya, jika hari penilaian kita melihatnya berbuat kebajikan, maka kita menentukan bahwa secara keseluruhan orang itu, baik. Tentu kita paham betul kelemahan dalam menilai seseorang hanya sehari saja. Jelas tak dapat disimpulkan seseorang itu baik dan buruk hanya dengan menilai perbuatannya sehari saja. Namun, akan lebih mungkin kita mendapat hasil yang sesungguhnya dari prilaku orang tersebut dengan menilainya sesering mungkin, sehingga hasil dari penilaian yang sering tadi dapat disimpulkan baik atau buruknya seseorang.
Masih terlalu panjang mengungkapkan hal-hal yang melingkupi kekurangan ujian nasional, baik itu secara detail maupun lebih luas lagi. Belum lagi kita mengutarakan bagaimana kelemahannya dari segi penilaian sikap dan psikomorik siswa yang justru pada masa-masa ini hal tersebut sangat diperlukan. Oleh karena itu, peninjauan menyeluruh terhadap pelaksanaan UN pada tahun-tahun berikutnya mesti ditinjau ulang. Libatkan sekolah dalam hal ini kepala sekolah dan guru dalam menyimpulkan kebutuhan akan UN tersebut. Salah satu yang patut menjadi masukan dalam tulisan ini adalah penilaian semester pada buku laporan siswa. Lihatlah betapa ketimpangan yang akan terjadi dari hasil UN jika tetap saja kans besar untuk melakukan kecurangan terjadi. Para siswa akan malas belajar, orangtua tidak lagi memperdulikan pendidikan atau belajar anaknya, serta guru akan semakin banyak apatis. Hal itu semua terjadi karena mereka paham betul bahwa yang menentukan di UN. Mengapa siswa harus belajar jika nanti di UN juga akan terjadi kecurangan-kecurangan yang pada akhirnya kelulusan 99,9% jika tidak 100%. Beberapa kalangan berseloroh mengatakan bahwa: dengan UN, pihak sekolah tidak lagi memikirkan akan berbuat curang atau tidak, tetapi mereka memikirkan bagaimana tidak ketahuan kalau kita berbuat curang.
Akhirnya, kita membuka mata bersama-sama menyikapi UN dengan segala keterbatasannya. Mari kita mencari solusi yang terbaik yang lebih cerdas dan lebih bermartabat. Indonesia adalah negara dengan segudang prestasi akademik yang ditorehkan oleh para pelajarnya di ajang internasional. Untuk itu, jangan kita sia-siakan potensi itu dengan mengungkungnya atau menistakannya dengan UN yang teramat sangat keterbatasannya. Pemerintah diharapkan berbesar hati untuk menerima masukan yang memang berasal dari pakarnya dan dengan tujuan yang membangun. Tidak menutup kemungkinan, apa yang kita akan terapkan dalam penyeleksian prestasi siswa ke jenjang satuan pendidikan yang lebih tinggi, selain UN akan lebih meringankan kost pengeluaran negara dibanding UN yang menelan biaya yang sangat besar. Tapi, lain persoalan memang jika UN dinilai layaknya proyek. Sekian.
0 komentar:
Posting Komentar