GONG XI FAT CHOY, AISYAH

Minggu, 25 Januari 2009

Satu persatu mahasiswa baru itu maju untuk memperkenalkan dirinya. Aku hanya sesekali memandanginya dari balik meja panitia orientasi Maba (Mahasiswa Baru). Beberapa rangkaian acara masih harus kumatangkan dengan teman-teman panitia lainnya. Sesekali senyumku merekah mendengar jawaban beberapa Maba menjawab pertanyaan usil dari rekan panitia. Aku kembali serius fokus pada kegiatan selama seminggu Maba di Fakultas Ilmu Pendidikan.

“Namaku Aisyah.”

“Kamu... Kamu seperti Cina yah?” tanya seorang panitia yang sedang mengangkaki kursi menghadap dirinya. Mendengar kata ”Cina” sekelebat aku memandangi Maba yang sedang tertunduk itu. Ada yang bergemuruh dalam relung jiwa ini mendengar kata ”Cina” tadi. Aku tak bisa memastikan jika memang Maba yang satu ini adalah seorang keturunan. Aku berusaha mengamati matanya, kalau-kalau memang sipit, atau kulitnya yang ..... putihkah?

Aku berusaha mematikan harapan yang selalu saja muncul tatkala mendengar kata ”Cina” atau melihat warga keturunan itu. Sejurus kemudian, lamunanku telah mengangkasa menembus waktu setahun yang lalu.......

”Kak... Kak Saipul... Aku mencintaimu, kak...”

Aku masih terdiam, tak mampu untuk mengatakan cinta pula kepadanya.

”Karena aku Cina, kak. Iya, kan. Aku lahir di sini kak. Aku warga negara Indonesia. Aku orang Indonesia, Kak. Aku cinta Indonesia meski aku memang keturunan Cina!!” lanjutnya lagi. Linangan air mata pun tak terbendung lagi mengalir di pipi Mei-Mei hari itu. Setahun lebih, Mei-Mei dan aku telah berkenalan. Namun, selama itu pula tak ada satu kalimat pun yang memastikan hubunganku dengannya. Aku dan Mei-Mei tak lebih hanya sebatas pembimbing dan teman yang dibimbing. Saat itu, aku memang ditugaskan oleh guru matematikaku untuk menjadi pembimbing siswa kelas II, Mei-mei. SMA 5 Parepare, sekolahku waktu itu memang menerapkan sistem tutor sebaya untuk membantu siswa yang masih tertinggal dibanding yang lainnya. Selama proses pembimbingan tersebut ternyata benih-benih cinta telah tumbuh di antara kami berdua.

”Mei-Mei...Sebenarnya.., aku.. aku juga telah lama menaruh hati kepadamu, Mei...” akupun tak menyangka aku mampu mengucapkannya. ”Tapi... tapi mengapa kakak tak mau menganggapku sebagai kekasih kakak?” kembali Mei-Mei membelakangiku sambil menutupi kedua wajahnya putih yang mulai memerah. Rona wajah yang cantik memerah itu kuanggap sebagai gambaran Aisyah, istri Rasulullah yang sering dipanggilnya Khumaerah. Mungkin yang jelas berbeda karena Mei-Mei bermata sipit. ”Kalau bukan karena aku Cina, jadi.... karena apa, kak?” suara Mei-Mei semakin serak menahan tangis.

”Aku Muslim, Mei!!” Aku tegas dan terus memandangi wanita di depanku itu. ”Seorang Muslim tidak boleh menikah dengan wanita yang bukan Islam, Mei.” jelasku kembali.

”Tapi... kitakan belum akan menikah, kak?” Mei-mei membalikkan badannya menghadapku, mungkin mengharap sesuatu akan berubah.

”Benar Mei, kita belum akan menikah. Aku baru lulus SMA dan akan kuliah, sedang kau baru akan ke kelas III. Tapi, aku tidak mau menjalankan hubungan yang tidak pasti, Mei.” Mei-Mei seakan tak mampu lagi berkata apapun, mungkin dia paham akan watakku selama ini, bahwa jika aku telah memutuskan sesuatu, maka tak seorang pun yang mampu merubahnya. Mei-Mei masih tertunduk dan menangis di depanku. Aku seakan goyah menghadapi wanita yang memang aku cintai. Tapi, saat itu juga aku semakin mengerti arti dari ketaatan yang memang harus diperjuangkan, meski pun itu pahit jadinya.

”Mei... maafkan kakak.” suaraku lirih. Kuberikan kenang-kenagan terakhir di genggaman tangan kanannya. Dia menggenggam erat, dan isak tangisnya pun kembali memuncak. ”Selamat tinggal, Mei. Jaga diri kamu, yah...” mengakhiri ucapanku.

”Hei! Saipul!!” bentakan itu membuyarkan lamunanku. ”Ma..maaf. Sampai dimana tadi diskusi kita?” tanyaku sedikit malu.

“Jam tanganmu asyik juga. Itu cocoknya untuk cowok.. ha..ha..” Yang lainnya pun tertawa. Maba itu berusaha menyembunyikan tangan kanannya di belakang tubuhnya.

Aku kembali menoleh memandang Maba itu. Jam tangan cowok? Pikirku dalam hati. Ah, tidak mungkin dia. Diskusiku betul-betul tidak fokus.

“Hei... dalam posisi siap sekarang. Tangan berada di kanan kiri!! Kamu ini, tak tahu aturan baris berbaris, yah!! Bentak teman panitia itu. Lambat tapi pasti, dia kembali pada posisi siap. Aku memperhatikan arloji yang dipakainya, dan ......“Mei-Mei...!!” tak terasa terucap juga kata itu. Kata yang selama ini selalu berada di langit-langit mulut ini tak terucap. Hampir semua yang hadir di tempat orientasi itu mengarahkan pandangannya padaku, tak terkecuali maba itu. ”Maaf yah... Maba yang ini aku tangani.” Tindakanku betul-betul terasa konyol. Tak kuhiraukan lagi koor dari teman-teman panitia terhadapku. Aku dan Mei-Mei berjalan ke arah sebuah pohon yang di bawahnya tersedia taman kecil untuk istirahat.

Berdegup jantung ini keras, setelah kutatap pasti wajah di balik jilbab itu betul-betul Mei-Mei. Wajah cantik itu kembali basah dengan air mata, namun semoga air mata bahagia karena bertemu dengan aku, harapku. Sekejap aku terdiam, tak tahu apa yang harus kukatakan untuk melukiskan kegembiraan ini.

”Kak Saipul.....” Mei-Mei ternyata mendahului aku membuka pembicaraan. ”Bisa tidak aku pulang ke Parepare besok. Aku tahu, kakak ketua panitia orientasi tahun ini kan?” Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan untuk membalas Mei-Mei. Sama sekali bukan itu yang kuharapkan diucapkannya. Tidak adakah topik pembicaraan yang lebih romantis? ”Untuk apa kau pulang?” tanyaku dengan nada agak tinggi menampakkan kedongkolanku.

”Aku mau pulang merayakan Imlek, kak.” balasnya tersenyum. ”Tapi... kau... Jilbab ini .... Namamu sekarang Aisyah, itu berarti....” kata-kataku terpotong oleh jawaban Mei-mei.

”Benar, Kak. Aku sekarang seorang Muslimah, tapi aku mau merayakan Imlek dengan orangtuaku, boleh yah, Kak?” pintanya mengiba. Aku mengangguk tanpa menatap wajahnya. Tidakkah dia dapat menyatakan rasa senangnya bertemu kembali denganku, terlebih dahulu? Atau...mungkinkah memang dia tak punya perasaan itu lagi padaku? Tapi... mengapa mata sipitnya tadi mengeluarkan air mata? Aku akhirnya berdiri. ”Kau boleh pulang besok. Nanti aku yang urus izinmu seberapa lamapun kau mau!!” Kutinggalkan Mei-mei dengan perasaan marah dan kacau.

Keesokan harinya, di lokasi orientasi. ”Kak... ada surat dari Aisyah.” seorang Maba menyodorkan amplop berisi kertas. Cepat aku membukanya dan kubaca. Tiga lebar kertas suratnya kubaca dengan perasaan yang tak terlukiskan lagi. Segala yang kuharap dan kudamba untuk dikatakan oleh Mei-Mei, semuanya tertuang dalam suratnya itu. Jiwa dan raga ini seakan melayang untuk menumpahkan kegembiraan membaca suratnya. Beban rindu selama ini aku derita semenjak berpisah darinya, berakhir sudah. Kurogoh saku untuk meraih heandphone dan kukirim sms pendek pada nomor hp yang tertera di bawah namanya, Aisyah. Semoga sms ku itu membuat dia sebahagia aku saat ini, pikirku. SEKIAN.

0 komentar:

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum