Ada yang menarik dari sambutan Mendiknas pada Hari Pendidikan Nasional tahun ini. Dimunculkannya suatu gabungan kata yang sungguh sangat mendalam maknanya. Kepenasaran Intelektual, demikian gabungan kata yang dimaksud. Gabungan kata ini memiliki dua keunikan. Pertama, bahwa kata “penasaran” tak pernah mendapat afiks atau imbuhan “ke-an” selama ini, meskipun kata “penasaran” itu sendiri adalah kata dasar. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan arti kata “penasaran” sebagai berikut: berkeras hendak berbuat sesuatu, sangat hendak mengetahui sesuatu, merasa tidak puas, dan sangat marah tidak sampai maksudnya. Kata “penasaran” adalah adjektiva atau kata sifat, jika diberikan imbuhan ke-an, maka berubah menjadi nomina atau kata benda. Keunikan kedua, bahwa kata “kepenasaranan” digabung dengan kata “intelektual”. KBBI menyamakan kata “intelektual” sebagai nomina dengan kata “cendekiawan,” yang artinya mempunyai kecerdasan tinggi, sedangkan jika sebagai adjektiva maka berarti: cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan.
Kedua keunikan dari gabungan kata “Kepenasaranan Intelektual” tersebut secara tersurat dapat berarti dua pula, yakni : 1. Rasa ingin tahu yang sangat besar dan kuat terhadap sesuatu yang bernilai kecerdasan atau ilmu pengetahuan, dan 2. Rasa ingin tahu yang sangat besar dan kuat dari seorang yang mempunyai kecerdasan tinggi. Kedua pengertian dari gabungan kata “kepenasaranan intelektual” ini semua mengarah kepada satu tujuan yakni keinginan untuk selalu menambah ilmu. Gabungan kata itu yang dipilih untuk memberikan sugesti bagi seluruh elemen pembelajar di negeri ini agar lebih proaktif menambah wawasan ilmu pengetahuan yang ada pada diri kita. “Kepenasaran Intelektual” dapat dikatakan setingkat lebih tinggi dan lebih progeresif dibanding “belajar tekun” atau “perbanyaklah belajar”.
Penambahan wawasan ilmu pengetahuan dalam gabungan kata “Kepenasaranan Intelektual” tersebut tentu tidak hanya untuk seorang ilmuan atau cendekiawan saja, tetapi semua anasir masyarakat terkhusus masyarakat pembelajar. Tak ada kata “loyo” apalagi “berhenti” dalam mencari ilmu atau pendidikan. Ilmu yang ada pada diri kita bagaikan air laut, makin diminum maka kita semakin haus. Demikianlah ilmu tersebut, jika kita memperoleh satu ilmu maka akan muncul banyak ketidaktahuan kita terhadap ilmu tersebut sehingga membuat kita penasaran untuk mengetahuinya dan mendalaminya.
Tak dapat disangkal bahwa penggunaan istilah Kepenasaranan Intelektual yang dimulai pada momen Hardiknas tentu mengarah kepada para penggiat pendidikan, terutama sekali guru. Kepenasaranan Intelektual haruslah menjadi sesuatu yang menyatu pada diri seorang guru. Guru harus berusaha untuk terus menambah “pundi-pundi” harta ilmunya (bukan pundi-pundi harta kekayaannya). Guru harus selalu penasaran jika sesuatu belum diketahuinya padahal seharusnya guru tersebut harus menguasainya. Guru harus penasaran, mengapa siswanya belum memahami materi yang telah diajarkannya, bukannya menganut paham “instanisme” bahwa memang siswanya yang bodoh. Kepenasaranan Intelektual jangan dijadikan beban tetapi sesuatu yang melekat pada diri guru. Guru, khususnya Guru PNS, selalu menambah ilmu atau tidak, tetap setiap awal bulan terima gaji. Oleh karena itu, kepenasaranan intelektual tidak mungkin akan menjadi bagian dari diri seorang guru yang hanya merasa cukup dirinya yang sekarang dan awal bulan terima gaji.
Konsep agama juga mengajarkan bahwa jika masalah harta, maka sebaiknya kita memandang ke bawah. Bahwa, masih banyak orang yang lebih miskin dari kita, sehingga muncul perasaan syukur dan qana’ah. Jika persoalan amal dan ilmu, maka kita harus selalu “penasaran” untuk menambahnya dan memandanglah ke atas, bahwa ternyata sangat banyak orang yang mempunyai amal dan ilmu melebihi diri kita, sehingga muncul perasaan “kecil” dan selanjutnya penasaran untuk menjadi “besar”. Kepenasaranan Intelektual sebenarnya juga mengarahkan kepada pendidikan karakter yang selalu termotivasi menjadi manusia yang unggul, baik dari sisi ilmu pengetahuan maupun sikap atau etika.
Kepenasaranan Intelektual membuka wawasan kita terhadap sesuatu untuk lebih meningkatkan motivasi menjadi lebih baik. Tentu hal ini juga membuka kebebasan untuk berkreasi dalam penciptaan idiom-idiom yang menggugah “adrenalin” dalam mengembangkan diri demi kejayaan bangsa kita. “Kepenasaranan Intelektual” mungkin dapat dimodifikasi menjadi “kegandrungan intelektual” , “keprihatinan Intelektual”, “kemarahan intelektual, dan lain sebagainya. Akhirnya, momen Hardiknas tahun 2011 ini dapat kita jadikan peneguh buat merealisasikan kepenasaranan intelektual ada pada diri kita. Jangan sampai kita terlena dengan sikap “cuek”, “kebodohan”, “sudah cukup”, “malas”, dan semua yang menghambat rasa penasaran kita terhadap peningkatan ilmu pengetahuan. SEKIAN.
KEPENASARANAN INTELEKTUAL
Muh. Syukur Salman
Sabtu, 14 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
Akses internet yang cepat adalah dambaan semua orang yang aktif memanfaatkan internet sebagai sarana pendukung aktifitasnya. Tak terkecuali...
-
Secara formal memang tidak dikenal istilah sekolah favorit di Negeri ini. Namun, hampir di setiap daerah, sekolah favorit tetap ada dan sema...
-
Banyak pihak yang akhir-akhir ini meragukan efektifikasi program sertifikasi guru dapat meningkatkan professionalisme pahlawan tanpa tanda j...
-
Kata Baskom, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “tempat air untuk cuci tangan atau muka”. Namun, pada umumnya ibu r...
-
Malam semakin larut, namun mata Rina belum dapat dipejamkan. Degupan jantungnya semakin kencang saja. Mukena yang dipakainya Shalat Isya bel...
Kata Bijak
Apapun harapan dan cita-citamu, semua tergantung kepadamu. Meski bantuan dari oranglain akan sangat bermanfaat, namun sangat kecil bagian dari pencapaian yang kau raih. Usahamu adalah jalanmu untuk menjadi yang kau inginkan. Oleh karena itu, apapun yang telah kau raih dan dapatkan adalah karena dirimu. Senang atau tidak senang terhadap keadaanmu sekarang adalah akibat dari dirimu sendiri. Jadilah dirimu sendiri adalah jalan yang terbaik dan terindah dalam arung kehidupan ini. MS2
Mengenai Saya
![Foto saya](http://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFMkn7MFctRwZg9qGMMDTiPKVwrGEa956KmIS57cLnQqZkXjqgbPSHd-RbC47mhtpGgjubnx8e4YBOSuD0PKH1BCR7t5PLlxG7aMtUjx5Zi6c39UbJaVyhZiWVYNCpFaU/s220/scan0008.jpg)
- Muh. Syukur Salman
- Parepare, Sulawesi Selatan, Indonesia
- Lahir di Parepare, 35 tahun yang lalu tepatnya tanggal 14 Agustus 1973. Menyelesaikan pendidikan tertingginya di Universitas Negeri Makassar tahun 2004 pada jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. Profesi keseharian adalah Kepala SD Negeri 71 Kota Parepare, Sulawesi Selatan. Kegemaran dibidang tulis menulis juga membuatku telah menerbitkan 3 buku cerita anak, 1 buku kumpulan ESAI/OPINI pendidikan, dan 1 buku kumpulan cerpen remaja Islam. Mempunyai dua anak berumur 4 tahun yang laki-laki bernama Muh. Uswah Syukur dan berumur 2 tahun yang perempuan bernama Sitti Hasanah Syukur,serta seorang istri cantik bernama Mukrimah.
0 komentar:
Posting Komentar