"KOMITMEN"

Jumat, 09 Desember 2011


Nilai rasa makna sebuah kata dalam bahasa Indonesia, kadang mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan interaksi sosial masyarakat. Kata yang sebenarnya memunyai nilai rasa positif, dapat berubah menjadi negatif karena seringnya kata tersebut digunakan dalam konotasi negatif. Salah satu contoh kata yang telah mengalami pergeseran nilai rasanya adalah kata “berhubungan”. Dulu, kata “berhubungan” ini sering digunakan untuk makna positif, yakni adanya interaksi atau komunikasi antara orang atau sesuatu dengan orang lainnya atau sesuatu yang lain. Namun, saat ini akan terasa janggal jika kata “berhubungan” digunakan untuk hal seperti makna sebelumnya tersebut. Kalimat yang berbunyi: “Dia berhubungan dengan sekretaris pejabat itu membicarakan proyek Hambalang”. Terjadi ambiguitas makna “berhubungan” dan lebih condong ke hal yang negatif (porno). Seringnya penjelasan tentang aktifitas sexual disamarkan atau disingkat dengan kata “berhubungan”, menyebabkan kata tersebut mengalami perubahan nilai rasa dari positif ke negatif. Oleh karena itu, kalimat di atas akan lebih baik jika kata “berhubungan” diganti dengan “berkomunikasi”.

Masih banyak kata yang mengalami “nasib” yang sama dengan penjelasan di atas. Kata “amplop” memunyai nilai rasa yang kurang positif saat ini. Merebaknya korupsi yang didalamnya ada sogok menyogok yang biasa memakai kata “amplop” untuk memaknai seseorang menyogok atau menerima sogok. Contoh kalimat: “Dia disodori amplop dalam menuntaskan proyek Wisma Atlet”. Kata “amplop” dalam kalimat tersebut memunyai nilai rasa negatif. Sebuah kata yang berproses mengalami pergeseran nilai rasa adalah kata “komitmen”.

Kata “komitmen” memunyai arti: perjanjian untuk melakukan sesuatu (kontrak). Nilai rasa tentu positif, sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberi contoh kalimat, yakni: “perkumpulan mahasiswa seharusnya memunyai komitmen terhadap perjuangan reformasi”. Saat ini, memang kata “komitmen” masih dalam tahap transisi nilai rasa. Sebagian masyarakat masih tidak merasakan pergeseran nilai rasa “komitmen”, tetapi sebagian lainya telah merasakannya bahkan telah mengaplikasikannya dalam berinteraksi sosial. Hal tersebut, juga terkait dengan masalah yang menjadi “kegaduhan nasional” di negeri kita, yakni Korupsi. Kata “komitmen” saat ini telah banyak digunakan untuk menyepakati suatu hal yang negative, seperti kesepakatan untuk memberikan fee terhadap proyek yang dimenangkan, kesepakatan untuk bersama-sama memuluskan kucurnya anggaran untuk mendapatkan proyeknya, kesepakatan untuk menutup-nutupi permasalahan yang sebenarnya, kesepatan untuk korupsi berjamaah, atau kesepakatan untuk mengirim “amplop” terlebih dahulu agar blockgrant dapat cair, dan lain sebagainya.

“Jadi, kita harus memunyai komitmen untuk terlebih dahulu menyerahkan fee 10% jika proyek ini berhasil.” Perhatikan pemanfaatan kata “komitmen” dalam kalimat tersebut. Meskipun, dalam bentuk tertulis, namun sebagian masyarakat telah familiar menggunakan kata “komitmen” dengan nilai rasa negatif, pada interaksi sosial dalam bentuk lisan. Menyepakati hal yang salah (negatif) dengan menggunakan kata yang bernilai rasa positif, seperti “komitmen” tentu saja untuk menyarukan perbuatan yang jelas negatif menjadi seolah-olah positif. Oleh karena itu, akan berakibat fatal kepada orang yang melanggar komitmen, akan dianggap salah.Meskipun komitmen salah yang dilanggar. Inilah yang menjadi subtansi permasalahan yang sebenarnya, yakni sesuatu yang jelas-jelas salah diusahakan menjadi benar. Hal serupa sebenarnya telah banyak terjadi, sehingga saat ini seseorang yang berprilaku benar seakan janggal terlihat, sedangkan yang berprilaku salah tetapi mereka berjamaah (kata “berjamaah” juga telah mengalami pergeseran nilai rasa) maka akan terlihat wajar atau lumrah.

Perang nilai rasa kata, positif dan negatif jelas terjadi seperti halnya perang antara prilaku jahat dan prilaku baik. Pertanyaannya adalah, mengapa banyak kata bernilai rasa positif, sekarang ini berangsur-angsur memiliki nilai rasa negatif? Begitu buruknya prilaku jahat (KKN dan turunannya) sehingga persoalan pemanfaatan kata pun, terjadi penyalahgunaan. Banyak bukti yang dapat dijadikan alasan bahwa kondisi seperti ini sangat berbahaya. Ikatan emosional kita sebagai saudara, sahabat, karib, teman, dan lainnya akhirnya harus mengarah kepada hal-hal yang negatif. Teman saat ini adalah yang mendukung atau menemani kita dalam berbuat negative. Komitmen terpatri dengan sahabat yang menjalankan politik “kongkalikong” untuk menipu orang lain, atasan, negara, atau bahkan Tuhan.

Akhirnya, tulisan ini secara jelas ditujukan terutama kepada penulis yang gundah gulana merasakan, menyaksikan, dan terkadang ikut serta membiarkan pergeseran nilai rasa kata positif ke nilai yang negatif. Kreatifitas seseorang atau sekelompok orang menggunakan kata-kata positif untuk “membungkus” hal yang negatif akan semakin menyeruak. Tentu ujung dari semua itu adalah bahwa akan semakin banyak prilaku yang tadinya positif akan menjadi negative, begitu pula sebaliknya. SEKIAN.

0 komentar:

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum