Saat ini, banyak
di antara kita yang rela mengaku diri miskin hanya karena mengharap bantuan.
Dengan berbekal keterangan dari kelurahan mereka (yang mengaku diri miskin)
mereka turut serta antri pada deretan orang yang benar-benar miskin untuk
menerima bantuan dari pemerintah. Mereka bukannya tidak sadar bahwa prilaku itu
berdampak pada tersitanya hak orang-orang yang benar-benar miskin. Sama sekali
tak ada rasa malu, bahkan dengan santainya mereka mengenakan segala assesoris
yang menandai jati dirinya sebagai orang mampu. Ini adalah kondisi yang jamak
terpantau dalam keseharian kita saat ini. Bukanlah sesuatu yang tabu mengaku
miskin sekaligus merebut hak orang miskin demi tiga ratus ribu rupiah.
Kecenderungan
mengharap belas kasih dan memosisikan diri sebagai seorang yang patut mendapat
bantuan dari negara merupakan bentuk “kemunafikan” sebagai bagian dari bangsa
ini. Di saat mereka menghirup udara negeri ini, tatkala mereka menginjakkan
kaki di republik ini, meminum segarnya air, dan yang tak kalah nikmat adalah
kemerdekaan yang diwariskan para pahlawan kepada kita semua: ternyata masih
sempat mengiba dan mangais pada negeri ini yang bukan merupakan haknya. Mereka
selalu meletakkan tangannya di bawah seraya memelas untuk terus menggerogoti
negeri ini. Jika perlu, biarlah semua orang tidak mendapatkan, asalkan dia
dapat, demikian pikiran sesatnya. Negeri ini harus selalu memberi kepadanya.
Negeri ini harus selalu mencukupi kebutuhannya. Negeri ini harus mematuhi
segala keinginannya. Mereka selalu bertanya tentang apa yang negeri ini telah
berikan kepadaku, dan tak ada dalam kamusnya untuk menanyakan pada dirinya
tentang apa yang telah diberikannya pada bangsa ini.
Kerakusan
sebagian dari anak-anak bangsa ini, mulai dari level paling bawah sampai
ketingkat tertinggi membuat hampanya kebanggaan sebagai bangsa yang besar.
Nilai-nilai kejuangan yang telah dicontohkan dan dibuktikan oleh para pejuang
bangsa seolah-olah hilang ditelan oleh hedonisme dan sikap konsumerisme bangsa
ini. Nilai kepahlawan seolah hanya muncul saat bangsa ini secara langsung
berhadapan dengan penjajah dari bangsa lain. Saat ini, sebagian kita merasa
berposisi sebagai penikmat kemerdekaan belaka tanpa perlu mengisi kemerdekaan
ini dengan aktifitas positif dan memunyai kebermanfaatan buat negeri kita.
Pahlawan seolah muncul disaat negeri mengalami keterpurukan belaka. Padahal,
jika kita mau jujur mengakui bahwa sudahkah pernah negeri ini menjadi makmur.
Tidakkah keterpurukan moral bangsa ini semakin mencapai titik terendah?
Bukankan itu sebagai pertanda negeri ini masih membutuhkan para pahlawan yang
saat ini semakin sulit ditemukan.
Pahlawan tentu
bukan hanya yang memperjuangkan kemerdekaan negeri ini saat melawan penjajah.
Pahlawan adalah orang yang selalu berfikir dan berbuat untuk kepentingan orang
banyak. Bukanlah seorang pahlawan yang hanya memikirkan kemaslahatan diri sendiri, apalagi yang justru merebut
hak-hak orang lain demi diri dan kelompoknya. Negeri ini tentu masih sangat
membutuhkan pahlawan-pahlawan yang terus berani menegakkan kebenaran demi
kejayaan bangsa. Apapun profesi kita, dimanapun kita berada, dalam kondisi
apapun posisi kita, semuanya dapat diset sehingga jiwa pahlawan bersemayam pada
diri kita. Tentu pada posisi-posisi tertentu aktifitas kepahlawan berbeda yang
satu dengan yang lain. Namun, itu bukan berarti orang lain wajar menjadi
pahlawan dan kita tidak bisa menjadi pahlawan pula. Jadilah pahlawan pada
lingkup kemampuan kita. Sejatinya, semua kita bisa menjadi pahlawan, tinggal tekad
dibulatkan. Hal ini penting, karena menjadi pahlawan berkonsekwensi banyak hal
akan menjadi aral dan tentu bukan hal mudah untuk menyingkirkannya.
Kans untuk
menjadi pahlawan terbuka lebar. Bukan untuk gagah-gagahan tetapi berbuatlah
dengan ikhlas, itu yang utama. Jika kita sebagai guru, sejauh mana mendidik
menjadi jiwa sehingga aka nada sikap prihatin seandainya siswa kita gagal dalam
bersikap serta kurang dari sisi akademik. Sebagai dokter, sejauh mana nilai
empati kita kepada pasien tanpa harus menerapkan tariff yang tinggi sehingga
yang fakir tak mampu berobat. Untuk para pemimpin, apakah amanah telah
dijalankan dengan baik serta tidak terkontaminasi dengan prilaku koruptif.
Kesemua itu merupakan contoh, yang memang saat ini masih sulit untuk dilaksanakan.
Namun, jika kita komitmen terhadap tekad mewarisi nilai-nilai kepahlawanan
tentu tak ada yang mustahil. Jadilah kebanggaan disekeliling kita sehingga akan
berkembang menjadi kebanggaan bangsa. Teruslah bertanya tentang apa yang telah
kau berikan untuk bangsa ini. Selamat menjadi pahlawan, teruslah berbuat yang
terbaik untuk negeri ini. SEKIAN.
0 komentar:
Posting Komentar