Mengharap seseorang mencintai
kita tentu tidaklah mudah. Namun, tentu saja bukan hal yang mustahil, apalagi
jika kita telah banyak tahu tentang orang tersebut. Jika keinginan untuk
dicinta tersebut berhasil, maka rasa senang tak terhingga pada diri kita. Cinta
sejati, itulah cinta yang diharapkan. Bukan cinta buta yang sering membuat kita
tidak terkontrol dan rela melakukan apa saja. Cinta sebenarnya anugerah
dari-Nya yang tentu saja harus diusahakan kehadirannya dan dijaga
kelestariannya. Melakukan apa yang disenangi dari yang diharapkan cintanya
tersebut tentu suatu yang harus dilakukan. Seperti halnya guru yang mengharap
cinta siswanya, haruslah mengusahakan segala yang disukai oleh siswanya itu.
Apa yang disukai siswa?
Dimana ada gula di situ ada
semut. Demikian pepatah yang lazim untuk mengungkap kedekatan antara satu
dengan yang lainnya. Apakah sesuai jika dikatakan: dimana ada guru di situ ada
siswa? Jika kalimat tersebut untuk menyatakan yang terlihat kasat mata, bahwa
interaksi belajar mengajar terjadi dengan keberadaan guru dengan siswa, maka
hal tersebut benar. Namun, jika yang diharapkan seperti arti pepatah tadi, maka
harus lebih diteliti lebih mendalam lagi. Semut akan mendekati dan mengerumuni gula
karena mereka (semut) sangat suka mengonsumsi gula. Semut dengan rela dan
ikhlas bahkan senang menyatu dengan gula. Semut akan merasa rugi jika gula ada
disekitarnya tapi mereka tidak mendekatinya. Semut akan selalu merindukan gula.
Seringkali proses pembelajaran
yang berlangsung yang menampilkan interaksi antara guru dan siswa, diselimuti
keterpaksaan. Masing-masing hanya menjalankan fungsinya, tanpa ada rasa saling
membutuhkan. Sering, bukan rasa senang yang ada dengan pertemuan guru siswa
tapi malah perasaan jenuh dan membosankan. Tentu, tujuan dari berlangsungnya
proses pembelajaran tidak akan tercapai jika kondisi tersebut senantiasa
terjadi. Seperti halnya gula dengan rasa manisnya sehingga menarik semut untuk
mengerumuninya, maka guru haruslah memahami apa yang disukai siswa sehingga
siswa memunyai alasan untuk mencintai gurunya.
Hubungan antara guru dengan siswa
adalah hubungan yang tidak sederajat. Artinya harus ada yang melakukan
pengondisian sehingga hubungan harmonis dapat tercipta. Tentu dalam hal ini,
guru merupakan factor penentu menciptakan hubungannya dengan siswa menjadi
berhasilguna. Guru sejatinya mengondisikan dirinya sesuai apa yang diharapkan
siswa ada pada gurunya. Sebagai guru, tentu telah memahami apa saja yang
menjadi kesukaan siswa. Itulah yang harus dimunculkan dan biasakan ada pada
saat interaksi guru dan siswa dalam proses pembelajaran.
Hampir semua siswa akan menyukai
gurunya yang pintar dan beretika. Humoris tentu tak kalah pentingnya harus
dimiliki guru sebagai hal yang juga disukai siswa. Kepedulian dan kasih sayang
akan membuat siswa “kelimpungan” kepada gurunya itu. Serius dan tegas juga
sekali-kali disukai siswa ada pula pada kepribadian gurunya. Sepatutnya,
kesemua yang disukai siswa tersebut ada pada diri guru dengan tanpa hal yang
dibuat-buat tetapi merupakan kepribadian yang melekat. Tapi, jika beberapa hal
yang tak mungkin menjadi kepribadian guru, maka tentu saja dapat “dipaksakan”
untuk dimunculkan. Jika seorang guru yang serius, sering sulit untuk humoris. Pada
titik inilah, “perjuangan” untuk dicinta oleh siswa harus “dikobarkan”.
Menggapai Cinta Siswa yang Sejati
Cinta yang dimaksud tentu bukan
cinta dengan lawan jenis, tetapi kecintaan antara pendidik dengan peserta
didik. Jika seorang guru telah memunculkan apa yang disukai oleh siswa, maka
kecintaan yang diharapkan dari siswanya akan hadir. Guru akan senang tatkala
siswa menunggunya dengan keceriaan saat proses pembelajaran akan berlangsung.
Guru akan gembira manakala siswa menantinya dan menanyakan alasan
ketidakhadirannya. Guru akan optimis disaat kelas menjadi hidup dari keaktifan
siswa mengikuti pembelajaran. Kesemua itu merupakan penjelmaan cinta siswa
kepada gurunya.
Sangat disayangkan jika ada guru
yang justru tak ingin dicinta oleh siswa. Bukan dari mulut lontaran
ketidaksukaannya dengan cinta siswa, namun dari sikap dan prilaku guru
tersebut. Guru yang hanya berkutat pada kondisi sekadar menjalankan tugasnya
saja. Guru yang merasa cukup dengan kompetensinya yang tanpa perkembangan sejak
awal menjadi guru. Guru yang tidak berusaha menciptakan suasana kelas yang
hidup, bahkan memelihara kelas yang kaku dan “angker”. Guru yang hanya selalu
ingin dimengerti dan dituruti oleh siswa. Guru yang merasa profesinya sebagai
guru adalah untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk kepentingan siswa.
Semuanya itu merupakan sikap dan prilaku guru yang tak mengharap cinta siswa.
Cinta siswa yang sejati kepada
gurunya, bukanlah berwujud ketegangan dan kekakuan dalam menerima pelajaran.
Bukan pula senyum merekah saat bertemu guru dan tatkala guru telah berlalu
berubah menjadi celoteh. Oleh karena itu, guru terlebih dahulu harus mencintai
siswanya dengan memunculkan segala yang disuka siswa. Cinta siswa yang sejati
kepada guru, akan mengalirkan apa yang guru harapkan kepada siswa, dapat
terwujud. Keikhlasan dan kerinduan siswa menerima pendidikan dan pengajaran
dari guru akan berwujud keberhasilan siswa sebagai harapan semua guru. Oleh
karena itu, menjadi sangat penting menggapai kondisi dimana guru yang dicinta
oleh siswa. Cinta sejati siswa akan terus dibawanya meskipun interaksi dalam
proses pembelajaran dengan gurunya tidak terjadi lagi. SEKIAN.
0 komentar:
Posting Komentar