Upaya
pemberantasan korupsi di negeri ini sudah bergerak dengan pesatnya seiring
dengan semakin kuatnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, sangat
disayangkan prilaku korup para pejabat dan pengusaha juga tak kalah hebatnya.
Korupsi semakin sistematis dan berimbas ke hampir semua lini kehidupan. Tak
lagi hanya bergerak di pusat negara ini, namun telah menjalar ke seluruh
pelosok negeri. Bukan hanya pejabat tinggi dan pengusaha besar saja yang
terindikasi korup, tetapi juga menjalar ke pegawai biasa serta pengusaha kecil.
Pertanyaan besar yang muncul adalah: KPK semakin ganas tetapi srigala dan macan
korup semakin buas saja, apa yang salah dengan negeri ini?
Permasalahan
dan pembahasan tentang korupsi terkesan masih berada pada level di atas.
Diskusi dan seminar kegentingan prilaku korup terus diadakan, namun hanya
menyasar kepada para pejabat, pengusaha, akademisi, dan paling banter sampai
pada senat-senat mahasiswa. Sangat jarang menyasar bagian inti dari kehidupan berbangsa
dan bernegara, yakni masyarakat. Padahal massa terbesar di negeri ini adalah
masyarakat itu sendiri. Masyarakat didefinisikan adalah sejumlah manusia dalam
arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.
Oleh karena itu, masyarakat harus terpahami tentang budaya anti korupsi dan
yakinlah bahwa masyarakat mempunyai local
wisdom (kearifan lokal) tentang nistanya prilaku korupsi dalam kehidupan
masyarakat.
Masyarakat
harus paham betul bahwa prilaku korup yang merajalela di negeri ini, sebenarnya
sangat merugikan masyarakat itu sendiri. Mereka harus sadar bahwa apabila ada
pejabat negara yang menilep uang negara sekian miliar bahkan triliunan, itu
artinya bahwa anggaran untuk kesejahteraannya (masyarakat) telah hilang sekian
banyaknya. Masyarakat bahkan harus tersadarkan bahwa jalan raya di daerah yang
rusak tanpa perbaikan, sekolah yang belum terenovasi, layanan kesehatan yang
masih mahal, dan ketertinggalan-ketertinggalan lainnya negara ini dibanding
negara lainnya, adalah besar pengaruhnya disebabkan oleh korupsi. Oleh karena
itu, sejatinya masyarakat tidak harus hanya diam, tetapi mereka mesti bergerak
untuk membenci prilaku korupsi tersebut.
Sebenarnya,
semua individu pelaku korupsi yang sudah diketahui maupun yang belum dan masih
bergentayangan, asalnya tak lain dari masyarakat juga. Mereka semua adalah
bagian dari masyarakat dan bergaul serta berinteraksi dengan masyarakatnya.
Mereka dengan lihainya “menipu” masyarakatnya dengan penampilan sebagai pejabat
dan pengusaha, bahkan terselinuti dengan sikap dan kebiasaan dermawan serta
suka menyumbang, padahal semua yang diberikan dengan “menipu” tadi adalah hasil
dari korupsi. Para koruptor betul-betul memanfaatkan budaya kekeluargaan
masyarakat yang masih hidup seperti rasa hormat kepada pejabat, pengusaha
diharapkan membantu masyarakat, sikap zuuzhannya (berprasangka baik) yang
tinggi, serta kecenderungan menutup aib saudaranya (anggota masyarakatnya).
Peran
masyarakat dalam mencegah prilaku korup sebenarnya inti dari semua usaha
pemberantasan korupsi di negeri ini. Masyarakat harus paham betul akan hal itu.
Awal dan akhir dari prilaku korupsi ternyata dari dan ke masyarakat.
Masyarakatlah yang meninabobokan para koruptor yang asalnya dari masyarakat dan
selanjutnya kerugian yang diakibatkan oleh para koruptor tadi yang paling
merasakan akibatnya adalah masyarakat.
Jangan biarkan
para pelaku korup bebas atau lepas dari masyarakat untuk bergentayangan
melakukan aksinya. Masyarakatlah yang pertama “menindaknya” dengan budaya benci
pada korupsi. Silahkan untuk menumbuhkan semangat kekeluargaan yang memang
terpuji untuk dipupuk selalu, namun perlu direalisasikan dengan lebih selektif.
Lebih selektif penting, karena tentu tak ada rasa kekeluargaan bagi orang yang
korup, karena dia dengan rakusnya memakan harta saudaranya sendiri.
Rasa hormat
kepada pejabat harus dan memang dianjurkan, namun perlu dengan kepintaran. Mengapa
harus pintar dalam menghormati pejabat? Pejabat harus bergerak dengan aturan
dan regulasi yang ada. Oleh karena itu, masyarakat harus pintar dalam memahami
hal tersebut. Tindakan atau kebijakan pejabat yang tidak berdasarkan aturan
serta cenderung merugikan, tentu tak pantas untuk menerima hormat dari
masyarakat.
Menerima
sumbangan dari pengusaha tentu tidak dilarang, namun harus tepat serta
dilandasi semangat kehati-hatian. Hati-hati jangan sampai bagian dari
masyarakat dijadikan objek pencucian uang hasil korupsinya. Oleh karena itu,
tentu akan elegan jika diketahui dengan benar asal usul sumbangan tersebut.
Jika niatnya memang tulus dan ikhlas menyumbang tentu teka akan jadi masalah
jika sumbangan yang diberikan harus dengan keterangan asal usul yang dibenarkan
Jika beberapa
hal tersebut dapat ditambahkan pada sikap masyarakat, maka budaya dalam
masyarakat menjadi kesatuan aksi dalam pencegahan prilaku korup. Para calon koruptor akan semakin sulit
mengembangkan dirinya karena asal usulnya telah menyaringnya dengan berbagai
sikap yang anti dan benci pada korupsi. SEKIAN.
0 komentar:
Posting Komentar