Suatu ketika Imam Syafei dicegat oleh seorang perampok dalam perjalanan ke tempat pengajiannya. Tanpa perlawanan sedikit pun perampok itu mengambil seluruh uang Imam Syafei di saku baju dan celananya. Dia ikhlash memberikan seluruh uangnya kepada perampok itu. Mungkin, memang uang itu bukan rezkiku, pikirnya. Namun, setelah perampok itu akan mengambil beberapa buku atau kitab yang diangkut dengan gerobak saking banyaknya, Imam Syafei pun dengan sigap mencegahnya, bahkan memohon dengan tetesan air mata agar perampok itu tidak mengambil bukunya meski hanya satu buah.
Tentu kejadian di atas hampir mustahil kembali terjadi pada diri kita sekarang ini. Perampokan mungkin terjadi, tetapi tak ada lagi yang mau merampok buku, kalau pun ada, hampir dapat dipastikan tak ada seorangpun lebih merelakan kehilangan seluruh uangnya dibanding sebuah buku kesayangannya. Mengapa Imam Syafei bersikap demikian? Buku, baginya adalah harta yang tak ternilai harganya. Buku, baginya adalah teman karib yang tentu saja melebihi berapapun banyaknya uang. Buku, baginya adalah hidup dan kehidupannya.
Nah, bagaimana dengan kita sekarang ini memandang buku? Kebanyakan kita hanya menjadikan buku sebagai pajangan belaka. Buku hanya menjadi bahan pinjaman dan hampir kita tidak berani membelinya. Kurangnya minat baca adalah pangkal “kebencian” kita pada buku. Apalagi jika kita menengok perpustakaan yang penuh dengan buku (juga yang kadaluarsa) yang berdebu tanpa pernah tersentuh yang memang tak pernah habis jari tangan untuk menghitung banyaknya pengunjung perpustakaan setiap harinya.
Program pengadaan buku semisal Bos Buku terhanya hanya bersifat kuantitas dan penjejalan buku kepada siswa. Tentulah akan berdayaguna jika program itu disandingkan dengan peningkatan minat baca. Bukan hal yang baru jika sekarang ini sekolah-sekolah dan beberapa sekolah tinggi penuh dengan buku tapi hanya sebagai penghias tanpa ada keseriusan untuk membacanya. Tumpukan buku baru dan lama masih utuh tak tersentuh. Lebih sialnya lagi kalau buku dianggap sebagai benda yang menjengkelkan karena hanya memenuhi lemari dan rak, tinggal menunggu untuk dibuang.
Sudah saatnya kita “memaksakan” diri untuk cinta kepada buku. Awalnya tentu sulit untuk dilaksanakan, namun jika kita bertahan dengan kesulitan itu satu dua bulan tentu akan mudah dan menjadi kebiasaan dalam membacanya. Jika, membaca sudah menjadi kebutuhan maka kecintaan terhadap buku akan tumbuh dengan sendirinya. Mari kita bermesraan dengan buku, dan tunggu janin yang akan kita peroleh yakni keberhasilan yang normatif. Kita tak perlu bersikap Imam Syafei sekarang ini, tapi kesungguhan kita untuk menambah wawasan keilmuan kita dengan buku, Insya Allah akan menjadikan kita berada pada barisan Imam Syafei dan orang-orang yang cinta ilmu. Sekian.
Label:
buku
BERMESRAAN DENGAN BUKU
Muh. Syukur Salman
Selasa, 13 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
Akses internet yang cepat adalah dambaan semua orang yang aktif memanfaatkan internet sebagai sarana pendukung aktifitasnya. Tak terkecuali...
-
Secara formal memang tidak dikenal istilah sekolah favorit di Negeri ini. Namun, hampir di setiap daerah, sekolah favorit tetap ada dan sema...
-
Banyak pihak yang akhir-akhir ini meragukan efektifikasi program sertifikasi guru dapat meningkatkan professionalisme pahlawan tanpa tanda j...
-
Kata Baskom, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “tempat air untuk cuci tangan atau muka”. Namun, pada umumnya ibu r...
-
Malam semakin larut, namun mata Rina belum dapat dipejamkan. Degupan jantungnya semakin kencang saja. Mukena yang dipakainya Shalat Isya bel...
Kata Bijak
Apapun harapan dan cita-citamu, semua tergantung kepadamu. Meski bantuan dari oranglain akan sangat bermanfaat, namun sangat kecil bagian dari pencapaian yang kau raih. Usahamu adalah jalanmu untuk menjadi yang kau inginkan. Oleh karena itu, apapun yang telah kau raih dan dapatkan adalah karena dirimu. Senang atau tidak senang terhadap keadaanmu sekarang adalah akibat dari dirimu sendiri. Jadilah dirimu sendiri adalah jalan yang terbaik dan terindah dalam arung kehidupan ini. MS2
Mengenai Saya

- Muh. Syukur Salman
- Parepare, Sulawesi Selatan, Indonesia
- Lahir di Parepare, 35 tahun yang lalu tepatnya tanggal 14 Agustus 1973. Menyelesaikan pendidikan tertingginya di Universitas Negeri Makassar tahun 2004 pada jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. Profesi keseharian adalah Kepala SD Negeri 71 Kota Parepare, Sulawesi Selatan. Kegemaran dibidang tulis menulis juga membuatku telah menerbitkan 3 buku cerita anak, 1 buku kumpulan ESAI/OPINI pendidikan, dan 1 buku kumpulan cerpen remaja Islam. Mempunyai dua anak berumur 4 tahun yang laki-laki bernama Muh. Uswah Syukur dan berumur 2 tahun yang perempuan bernama Sitti Hasanah Syukur,serta seorang istri cantik bernama Mukrimah.
0 komentar:
Posting Komentar