MENINGGALNYA SEORANG GURU

Selasa, 13 Mei 2008

Beberapa hari lalu aku terkesima dengan jejeran baliho duka cita di satu sudut jalan kota ini. Sempat aku membaca sekilas beberapa ucapan dukacita itu secara cepat, dan aku simpulkan bahwa hampir semua pihak di kota ini menyampaikan duka citanya. Tak pandang itu pribadi maupun suatu kelompok usaha dan lain sebagainya. Lalu, keesokan harinya aku lebih terkesima lagi, karena terpampang dengan cukup besar turut berduka cita atas nama Pemerintah Kota. Aku mulai berpikir bahwa sungguh teramat penting dan besarnya jasa orang yang meninggal kemarin itu.

Lama aku tatap ucapan bela sungkawa itu, sampai-sampai aku teringat seorang teman seprofesi yang baru sebulan lebih meninggalkan aku dan teman-teman guru lainnya untuk selama-lamanya. Hampir 30 tahun dia mengabdikan hidupnya menjadi seorang pendidik demi satu tujuan mencerdaskan anak bangsa, mencerdaskan anak-anak kota ini. Guru adalah profesi yang ditekuninya tanpa mengenal lelah. Tak ada kata-kata kasar (kotor) yang dia lontarkan. Tak ada perbuatan “busuk” yang dia lakukan. Loyal kepada pemerintah serta abdi bangsa dan negara. Hanya satu yang dia dan pada umumnya guru tak bisa lakukan, seperti yang dilakukan sebagian orang adalah berusaha selalu dekat dengan para petinggi dan para konglomerat. Mungkin, dia dan guru lainnya bukannya tidak mau, tapi memang tak ada waktu memikirkan hal itu. Waktu guru suntuk untuk digunakan mendidik dan mengajar serta melatih anak didiknya antara lain untuk juga menghormati dan menghargai jasa para guru.

Guru, teman saya itu meninggal tanpa satu pun ucapan turut berduka cita, baik itu baliho maupun yang dicetak di media massa. Jangankan atas nama pemerintah kota, atas nama pemerintah kelurahan saja tidak ada. Yang ada cuma kiriman kertas turut berduka cita sesama guru, dan paling tinggi dari perwakilan Dinas Pendidikan. Sungguh, pengabdian yang lama demi bangsa dan negara oleh temanku itu, hanya bagaikan angin lalu.
Jika kita kembali merenungi persoalan “sepele” ini dan tanpa ada “keangkuhan” di hati kita, tentu akan jelas ketidakadilannya. Memang, guru yang telah meninggal tak akan mungkin lagi melihat segala ketidakperhatian kita. Sama halnya dengan seseorang lainnya yang meninggal yang kita berikan perhatian lebih. Memang jelas perhatian seremonial terhadap orang yang meninggal tentu untuk orang yang masih hidup. Lalu, kepada teman kami seprofesi itu apakah tidak penting untuk memperlihatkan perhatian kita kepada guru-guru lainnya, sehingga ada perasaan takzim bahwa pengabdia guru selama ini tetap dihargai sampai akhir hayatnya, baik oleh teman sejawat maupun pemerintah kota yang selalu dihormatinya dan menjadi panduan untuk kebanyakan gerak langkah seorang guru.

Uraian di atas tentu lahir dari kegundahan dan kesedihan serta sedikit kecemburuan terhadap realita yang terjadi. Tentu hal di atas bukanlah suatu kemustahilan, tetapi justru sesuatu yang wajar jika direalisasikan. Sudah saatnya menanggalkan sifat kita yang hanya melihat dari luarnya saja tanpa menyelami dalamnya. Penghormatan kita kepada seseorang bukan hanya karena banyak tidaknya kontribusi kepada PAD dari sisi rupiah, tetapi harus pula melihat sejauh mana kontribusi atau pengabdian untuk bangsa dan negara serta agamanya yang tentu saja tak berbentuk pisik atau rupiah, seperti profesi guru. “Ketidakbecusan” guru “mengenal” para atasan dan pejabat bukan “modal” untuk meniadakan penghormatan kita saat dia meninggal. Sekian.

0 komentar:

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum