KEPEKAAN SEORANG SASTRAWAN

Selasa, 03 Maret 2009


Biarkan aku mencintaimu dengan sangat sederhana
Seperti yang tak sempat diucapkan kayu pada api sebelum ia menjadikannya abu
Biarkan aku mencintaimu dengan sangat sederhana
Seperti yang tak sempat diucapkan awan pada hujan yang menjadikannya tiada
(sastrawan)

Penggambaran seseorang pada sesuatu hal, menunjukkan sejauh mana kepribadian orang tersebut. Kearifan dan kebengisan seseorang dapat terungkap tidak hanya dengan prilakunya terhadap sesuatu, namun dapat pula dengan jelas tersiar melalui ungkapan dan komentarnya terhadap peristiwa atau orang. Walaupun demikian, tentu saja hal ini tak dapat menjadi suatu konklusi dalam menjastis orang akan tingkat kearifan atau kebengisannya. Lebih jauh lagi, bahwa “bukti” tersebut tak akan diterima saat dibuka pada suatu peradilan. Oleh karena itu, pemahaman kita tentang kearifan dan kebengisan harus terus dipertajam semaksimal mungkin, sehingga kita dapat mengerti dan mampu memahaminya dengan baik, meskipun hanya dengan memperhatikan penggambaran atau komentar seseorang terhadap sesuatu.

Tentu kita telah banyak mengalami, banyak menyaksikan, dan mendengar kondisi yang membawa kita merasa memahami seseorang hanya dengan mendengarkan pendapat atau penggambarannya terhadap orang atau peristiwa. Pada tingkat yang lebih, biasanya kita akan mengatur pertemanan atau pandangan kita terhadap orang tersebut. Sikap ini merupakan suatu timbal balik terhadap sikap orang lain terhadap kita. Kecenderungan untuk bersikap demikian, akan terus terasah seiring kepekaan kita dalam menyelami seseorang atau peritiwa yang terjadi. Jika kita merasa terganggu terhadap seseorang atau peristiwa yang terjadi maka akan muncul energi untuk menilai orang atau peristiwa tersebut secara otomatis, dan hasil dari penilaian itu akan mempengaruhi sikap kita terhadapnya.

Seorang anggota DPR yang dengan angkuhnya memberikan komentar (penggambaran) terhadap Dirut Pertamina beberapa waktu yang lalu, jelas akan sangat mudah memberikan penilaian terhadapnya. Keangkuhan dan kesombongan sudah menjadi kesimpulan atas sikap si anggota DPR tadi. Secara gamblang Mas Iben (sebutan Dosen Sastra Universitas Indonesia, yang nama sebenarnya Ibnu Wahyudi) juga mengkritisi penggunaan bahasa yang amburadul, mempertegas kelemahan si anggota DPR tadi. Sorotan media terhadap hal-hal yang demikian akan semakin membentangkan gambaran terhadap sikap orang tersebut. Tanpa harus melihat dengan kasat mata atas prilaku seseorang, penggambaran atau penilaian terhadap sesuatu tadi akan menjadi masukan bagi kita untuk menilai dirinya.

Seorang sastrawan akan lebih mudah dalam mengolah penilaian terhadap seseorang atau peristiwa yang terjadi. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kepekaan mereka terhadap kondisi di sekitarnya. Kehalusan tata kata dan tata kalimat yang terangkum dalam lontaran bahasa tulis yang terlisankan oleh seorang sastrawan, merupakan modal baginya dalam menempati posisi yang tinggi terhadap kepekaan. Seorang Taufiq Ismail akan selalu “merasa terganggu”, jika suatu kejadian dirasakan, dilihat, dan atau didengar itu tidak sesuai dengan yang seharusnya. Sel-sel kepekaannya akan “menyeruak” untuk merespon hal itu. Anggukan kepala sering kita lakukan jika suatu hasil sastra telah dipublikasikan ke masyarakat. Sebagian di antara kita akan setuju, dan sebagian lagi akan menolak, meski di dalam hati yang paling dalam juga merasakan kebenaran. Bagi yang menganggap suatu kebenaran adalah suatu yang harus diperjuangkan, jelas akan menerima dengan lapang dada, walau dirinya juga terimbas “sakit”.

Kita tentu saja tidak harus menjadi sastrawan terlebih dahulu baru dapat merasakan kepekaan itu. Namun, akan lebih fatal jika sikap tidak peduli kita terus didahulukan dalam merasakan, melihat, dan mendengar sesuatu yang tidak sesuai dengan seharusnya terjadi. Di sekeliling kita “bertebaran” orang dan kondisi yang dapat merangsang kepekaan kita. Bukan lagi sesuatu yang hanya kita nilai dari pernyataan atau penggambaran orang tersebut terhadap sesuatu, namun telah dengan kasat mata kita menyaksikan, sehingga kita akan diperhadapkan suatu pertanyaan: “Sekeras apakah hati ini?” Sudah semestinya kita meneladani para sastrawan yang mempunyai kepekaan terhadap sesuatu yang “salah” untuk disampaikan perbaikannya dengan bahasa tulis yang dilisankan dengan lembut dan lebih pragmatis. Bukan sekedar dukung mendukung dengan mengandalkan kekuasaan, jumlah yang besar, dan argumen-argumen kebohonngan.

Kepekaan semakin teruji pada saat kita harus memilih wakil dan pimpinan. Masa-masa pemilihan calon legislatif yang ramai sekarang ini merupakan momen dalam menguji kepekaan itu. Penolakan atau dukungan kita, jangan terbelikan dengan uang atau iming-iming yang tidak jelas. Seseorang kita tetapkan sebagai pilihan, harus dengan kepekaan pula. Banyak di antara caleg yang ada telah kita tahu latar belakangnya, sikap, prilaku, dan komentar serta penggambarannya terhadap sesuatu. Ini merupakan modal kita dalam menentukan pilihan. Termasuk jika seorang caleg melakukan money politic, jelas akan “merangsang” kepekaan kita.

Katakan cinta dengan lantang
Di hati yang dalam dan terdiam
Katakan cinta dengan lantang
Di malam senyap dan tak bersuara


SEKIAN

0 komentar:

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum