"Politik Keibuan" Kartini

Senin, 20 April 2009


Hari Kartini 21 April 2009
“Politik Keibuan” Kartini
Kesetaraan gender adalah menjadi sesuatu yang telah umum disuarakan pada era reformasi saat ini. Kesetaraan gender tidak hanya diperjuangkan oleh kaum hawa saja, tetapi juga kaum adam yang intens terhadap persamaan hak antara pria dan wanita. Konsep kesetaraan gender sebenarnya adalah juga mengarah pada hitung-hitungan peran (job) di semua lini pranata social, sehingga bagi sebagian orang bahkan dengan lugas mengatakan bahwa kesetaraan gender hubungannya dengan urusan “perut”. Tentu hal ini masih sangat memungkinkan untuk diperdebatkan, sehingga yang lebih mungkin untuk dijadikan bahan kajian adalah hal yang saat ini factual terjadi. Hebatnya dorongan untuk memajukan perempuan, yang diklaim oleh sebagian perempuan bahwa kaum mereka kurang diperdayakan oleh pemerintah, terus merambah sampai ke dunia politik.
Keterwakilan perempuan 30% di parlemen yang pernah menjadi andalan kaum feminis ini, ternyata harus direlakan untuk “layu sebelum berkembang” dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan anggota parlemen yang terpilih adalah menurut suara terbanyak. Namun, hal ini ternyata tidak membuat aktifis perempuan ‘patah arang’ untuk berperan di dunia ketidakpastian tersebut. Bersaing dengan kaum pria secara langsung lewat raihan suara saat Pemilu Legislatif kemarin, tentu saja terlihat lebih fair, dibandingkan dengan jatah-jatahan 30% tersebut. Meski keterwakilan perempuan sejak dulu memang ada, tetapi dianggap tidak signifikan jika dibanding dengan rasio perempuan yang lebih banyak dari laki-laki. Pemilu 2009 ini adalah awal “sepak terjang” politis perempuan dapat terlihat dengan sebenarnya. Bangsa Indonesia akan melihat pembuktian dari Kartini-kartini yang masuk ke parlemen, apakah mereka dapat memberikan kinerja yang maksimal sebagai wakil rakyat atau tidak.
Hari Kartini tahun ini mempunyai nuansa yang berbeda dengan dilangsungkannya Pemilu 2009. Kiprah “makhluk paling cantik” ini, di parlemen nantinya kita harapkan mempunyai ciri khas tersendiri. Sebagai perempuan, fitrah keibuan diharapkan menjadi cirinya. Sifat ibu adalah menjadi panutan bagi anak-anaknya dan juga pemberi nasehat. Parlemen kita saat ini dinodai oleh beberapa anggotanya yang mayoritas laki-laki itu, dengan prilaku korupsi. Kita bersyukur karena belum ada satupun anggota parlemen perempuan yang dinyatakan melakukan tindak kejahatan korupsi. Tentunya kita harapkan, bukan karena mereka sangat sedikit jumlahnya di parlemen (DPR/DPRD) sehingga tak ada yang terindikasi korupsi, tetapi memang karena fitrah keibuan merekalah yang menjadi benteng penghalang untuk berbuat hal yang masih “doyan” dilakukan sebagian anggota parlemen laki-laki tersebut.
“Berkubang” di dunia politik oleh para penerus Kartini saat ini sudah terlihat sangat gencar, bahkan sukar memutuskan siapa lebih unggul dalam berpolitik laki-laki atau perempuan. Jumlah perempuan sebagai anggota parlemen jadi, perempuan sebagai pimpinan partai politik, bahkan perempuan sebagai calon presiden pun saat ini tidak diragukan lagi kepiawaiannya. Tentunya semangat yang menyala-nyala ini jangan sampai menjadi euphoria yang berlebihan, sehingga melupakan kodrat keibuannya tadi. Kapan dan dimanapun perempuan itu berada harus selalu ingat bahwa mereka adalah ibu atau calon ibu. Tidak ada yang dapat memungkiri hal tersebut, bahwa mereka nantinya akan bersuami, melahirkan, menyusui/mengasuh anak-anaknya, dan sebagai ibu rumah tangga. Tuhan tidaklah menciptakan perempuan asal-asalan, dengan postur tubuh dan jiwa yang berbeda dengan lawan jenisnya, pria. Keutuhan manusia sebenarnya seperti dua sisi mata uang. Oleh karena itu, rivalitas kurang sehat antara laki-laki dan perempuan sebenarnya akan menghambat kemajuan manusia pada umumnya. Saling dukung dan saling bantu serta saling sharing, itulah yang diharapkan untuk melihat bangsa ini menjadi berkembang dan maju. Keeratan hubungan antara laki-laki dan perempuan, jangan pula menjadi “embrio” terjadinya penyimpangan-penyimpangan lainnya, yang juga akan berdampak negatif. Oleh karena itu, bergabungnya kartini-kartini ke parlemen dengan serius saat ini diharapkan akan memperbaiki kondisi yang rusak dan “amburadul” di parlemen kita. Kodrat keibuan harus menjadi ciri khas anggota parlemen perempuan, sehingga dapat meredam prilaku-prilaku semacam korupsi yang sering dilakukan kaum pria.
“Politik Keibuan” di DPR/DPRD semoga dapat kita rasakan mulai Pemilu 2009 ini. Kita tidak harapkan mendengar atau melihat kembali para anggota DPR/DPRD kita saling adu jotos, korupsi sendiri-sendiri atau korupsi berjamaah, melakukan prilaku asusila, atau yang berkomentar “kotor” dan tidak etis. Kita harapkan parlemen kita merupakan tempat yang sejuk, sesejuk mesin pendingin di gedung parlemen tersebut. Besar harapan kita pada para politikus kartini yang dapat member nuansa parlemen dengan “politik keibuannya” itu, semoga.
SEKIAN

0 komentar:

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum