Ketika bangsa ini heboh dengan kasus “Cicak dan Buaya” di ibukota Negara, masih jutaan anak negeri ini yang mengais di tong sampah, menjadi korban gusuran, kelaparan, jadi korban gempa dan kebakaran, dan masih banyak penderitaan lainnya. Kasus “Cicak dan Buaya” seakan-akan menenggelamkan kondisi negeri ini yang memang setiap hari tak lepas dari derita. Bagaikan sesuatu yang sangat lumrah dan telah menjadi “makanan sehari-hari” bangsa ini, maka penderitaan yang sehari-hari dapat kita saksikan di depan hidung kita, akhirnya harus mengalah terhadap perseteruan “Cicak dan Buaya” tersebut. Kita pun masyarakat awam yang mungkin tak ada hubungan sebab akibatnya sangat antusias dalam bersikap terhadap keberpihakan kita terhadap “Cicak” dibanding “Buaya”.
Berbagai tanggapan keprihatinan pun bermunculan sebagai tanda kita sangat prihatin terhadap kondisi penegakan hukum di Negara hukum ini. Facebookers pun menggalang solidaritasnya dengan mengumpulkan 1 juta pendukung untuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), satu pertanda bahwa anak-anak bangsa ini masih benci akan ketidakadilan dan sangat konsens mendukung orang-orang yang didzalimi dan yang terkena penderitaan. Lalu, kemana kita tatkala orang-orang di sekitar kita juga mengalami penderitaan. Begitu banyak saudara kita yang masih butuh bantuan kita, baik moril maupun materil. Apakah mereka yang menderita itu harus disiarkan melalui media cetak dan elektronik secara gencar barulah dukungan kita kepadanya mengalir, meskipun mereka hanya bersebelahan rumah dengan kita? Jika demikian prinsip kita, maka apakah tidak salah kalau dukungan diberikan kepada “cicak”, padahal kita sendiri adalah “buaya”.
Jika kita cermati kronologis “cicak dan buaya” maka pada klimaksnya adalah bahwa “buaya” sekalipun telah mengaku sebagai “cicak”. Orang-orang yang mendukung setelah tengok kanan kiri dan setelah memastikan bahwa angin berhembus ke arah “cicak” maka mereka pun mengacungkan jempol pada “cicak”. Mereka mungkin sedikit kurang paham bahwa tidak mungkin seseorang bermuka “cicak” jika hatinya “buaya”. Banyak yang telah menjadi “pahlawan kesiangan” dalam menanggapi kasus ini. Jadi, tentu kita tak mau menjadi “pahlawan kesiangan” karena hanya menjadi beban belaka tanpa ada pengaruhnya sama sekali. “Pahlawan Kesiangan” juga akan menjadi mudah menjadi “Bedebah Kepagian”. Orang-orang yang tak punya prinsip, kemana angin berhembus ke situ pulalah mereka berada.
Menjadi pahlawan tentu saja bukan hal yang mudah, tapi tentu saja kita tidak harus mengangkat senjata seperti pada masa revolusi. Tidak pula harus menjadi anggota KPK yang memberantas korupsi di negeri ini. Semua kita dapat menjadi pahlawan, hanya saja pada lingkup yang berbeda. Sebagai ayah kita lindungi anak istri dan keluarga kita, maka jelas kita menjadi pahlawan dalam rumah tangga kita sendiri. Sebagai guru, kita abdikan diri kita untuk mencerdaskan anak didik kita dalam kelas, maka tentu kita telah menjadi pahlawan lingkup kelas dan anak didik kita. Pada prinsipnya, pahlawan tentu saja mengarah kepada bantuan yang diberikan dalam bentuk yang positif.
Kasus “Cicak VS Buaya” telah melahirkan pahlawan-pahlawan keadilan di negeri ini, suatu momen yang sangat baik. Namun, kita tidak harus menunggu momen-momen dramatis seperti ini jika akan menjadi pahlawan. Di sekitar kita saja, bertebaran momen yang memanggil jiwa kepahlawanan kita untuk diabdikan segera. Mari kita membuat diri ini lebih peka terhadap permasalahan-permasalahan social yang tiap hari ada dan menghampiri kita. Tidak perlu menunggu sampai permasalahan itu terekspos di media atau tidak. Kita sudah mahfum akan ketidakadilan, kemelaratan, kemiskinan, keterpurukan, penderitaan, dan lainnya. Jadilah pahlawan sesuai kemampuan dan lingkup kita, sehingga negeri ini sampai ke pelosok-pelosoknya punya pahlawan-pahlawan yang intens memperjuangkan dan membela kebenaran dan keadilan. Selamat Hari Pahlawan, Pahlawanku. SEKIAN.
PAHLAWAN DI ANTARA "CICAK DAN BUAYA"
Muh. Syukur Salman
Rabu, 11 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
Akses internet yang cepat adalah dambaan semua orang yang aktif memanfaatkan internet sebagai sarana pendukung aktifitasnya. Tak terkecuali...
-
Secara formal memang tidak dikenal istilah sekolah favorit di Negeri ini. Namun, hampir di setiap daerah, sekolah favorit tetap ada dan sema...
-
Banyak pihak yang akhir-akhir ini meragukan efektifikasi program sertifikasi guru dapat meningkatkan professionalisme pahlawan tanpa tanda j...
-
Kata Baskom, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “tempat air untuk cuci tangan atau muka”. Namun, pada umumnya ibu r...
-
Malam semakin larut, namun mata Rina belum dapat dipejamkan. Degupan jantungnya semakin kencang saja. Mukena yang dipakainya Shalat Isya bel...
Kata Bijak
Apapun harapan dan cita-citamu, semua tergantung kepadamu. Meski bantuan dari oranglain akan sangat bermanfaat, namun sangat kecil bagian dari pencapaian yang kau raih. Usahamu adalah jalanmu untuk menjadi yang kau inginkan. Oleh karena itu, apapun yang telah kau raih dan dapatkan adalah karena dirimu. Senang atau tidak senang terhadap keadaanmu sekarang adalah akibat dari dirimu sendiri. Jadilah dirimu sendiri adalah jalan yang terbaik dan terindah dalam arung kehidupan ini. MS2
Mengenai Saya

- Muh. Syukur Salman
- Parepare, Sulawesi Selatan, Indonesia
- Lahir di Parepare, 35 tahun yang lalu tepatnya tanggal 14 Agustus 1973. Menyelesaikan pendidikan tertingginya di Universitas Negeri Makassar tahun 2004 pada jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. Profesi keseharian adalah Kepala SD Negeri 71 Kota Parepare, Sulawesi Selatan. Kegemaran dibidang tulis menulis juga membuatku telah menerbitkan 3 buku cerita anak, 1 buku kumpulan ESAI/OPINI pendidikan, dan 1 buku kumpulan cerpen remaja Islam. Mempunyai dua anak berumur 4 tahun yang laki-laki bernama Muh. Uswah Syukur dan berumur 2 tahun yang perempuan bernama Sitti Hasanah Syukur,serta seorang istri cantik bernama Mukrimah.
0 komentar:
Posting Komentar