KANTIN KEJUJURAN SEBAGAI PROSES BELAJAR

Jumat, 29 Januari 2010


Kejujuran sebenarnya merupakan prilaku yang semua orang dapat melakukannya dan paham artinya. Baik itu orang berpendikan tinggi maupun yang tidak mengecap pendidikan. Tetapi, sebaliknya adalah bahwa jika orang tidak mau jujur, maka yang paling mempunyai kans untuk itu adalah orang yang tinggi pendidikannya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin tinggi kans dan kualitas ketidakjujurannya. Ini adalah konsep penulis yang tercetus dari akumulasi peristiwa di masyarakat, khususnya yang secara gamblang disajikan oleh media.

Dikatakan bahwa, di dunia ini tidak ada yang kebetulan, semuanya melalui suatu proses. Seorang teknokrat menjadi koruptor, bukanlah kebetulan tetapi telah melalui tahapan proses. Proses belajar, meski tidak disadari ada yang membentuk seseorang menjadi seoarng koruptor. Proses belajar dalam dunia pendidikan tak ada satu pun yang mengarahkan seseorang nantinya menjadi berprilaku negative, termasuk menjadi koruptor. Semua tujuan pendidikan di negeri ini bertujuan menciptakan generasi yang etis, religious, terampil, dan banyak lagi yang positif. Lalu, mengapa terjadi hal yang kita tidak inginkan seperti munculnya koruptor-koruptor kelas kakap?

Dunia pendidikan formal identik dengan persekolahan. Berbagai aktifitas system dan sub system terakumulasi dalam penyelenggaraan sekolah. Tidak hanya yang formal saja, tetapi juga yang tidak formal “bercampur aduk” menjadi satu dan membentuk nuansa persekolahan yang formal. Belum lagi imbas dari pergaulan dalam keluarga dan masyarakat yang lebih luas, turut andil dalam membentuk proses belajar tadi. Jadi, kebenaran akan suatu kejadian semuanya melalui proses telah teruji kebenarannya. Untuk itu, proses belajar yang positif harus ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Peningkatan aktifitas positif jelas akan menggeser sedikit demi sedikit proses belajar atau aktifitas negatif yang berujung pada kans terciptanya generasi yang lebih baik akan semakin terbuka.

Munculnya Kantin Kejujuran di sekolah-sekolah dewasa ini tentu sangat berpengaruh terhadap proses belajar yang positif. Digagas oleh Jaksa Agung R.I., kantin kejujuran mungkin terlihat suatu hal yang sepele. Namun, proses belajar tidak mengenal sepele atau tidak sepele jelas akan membentuk jati diri seseorang yang mengikuti proses tersebut. Peresmian Kantin Kejujuran yang ke 10.000 di Pangkep oleh Jaksa Agung, Hendarman Supandji beberapa hari lalu menandakan respon positif semakin menyeruak. Ini tentu didorong dengan kenyataan bahwa negeri kita telah dilanda krisis kejujuran. Berbagai prilaku tidak jujur semakin hari bertambah, baik jumlah maupun kualitasnya. Kantin Kejujuran tentu tidak hanya melatih siswa jujur di kantin, tetapi merupakan cikal bakal sifat jujur dimana pun dan kapan pun. Aktifitas korupsi yang semakin menjadi di negeri ini, berawal dari sifat yang tidak jujur.

Di Kantin Kejujuran, siswa dilatih mengambil barang atau belanja sendiri, membayar sendiri, dan mengambil uang kembalian sendiri. Di beberapa sekolah yang telah membentuk kantin serupa memang mengalami kerugian pada minggu-minggu pertama, tetapi dengan pendekatan edukatif, perkembangan kantin kejujuran cukup menggembirakan. Bahkan, terdeteksi beberapa sekolah yang justru meningkat keuntungannya setelah menerapkan system Kantin Kejujuran. Pelajaran memberikan sumbangan dari uang kembalian yang tidak diambil lagi jelas semakin menambah sisi positif dari Ide Kreatif Kejagung ini. Proses belajar melalui Kantin Kejujuran jelas dapat terpatri dengan baik pada diri siswa yang nantinya akan terjun di masayarakat sebagai warga. Proses belajar yang kontinyu setiap hari ditambah dengan arahan dan bimbingan yang simultan dari pihak sekolah dan orangtua diharapkan dapat menggeser proses belajar yang negatif.

Berawal dari gerakan sederhana berupa Kantin Kejujuran tapi dilakukan secara nasional dan bersungguh-sungguh diharapkan akan mengubah “wajah” Indonesia sebagai negeri korup menjadi lebih baik. Kantin Kejujuran mungkin menghasilkan hal-hal positif secara cepat namun dalam lingkup yang kecil pula, tetapi jika kita bersabar 10 – 20 tahun ke depan kita akan memetik hasil dari benih yang kita tanam. Proses belajar melalui Kantin Kejujuran sangat tepat dalam mengantisipasi prilaku-prilaku tidak jujur di kemudian hari. Kantin Kejujuran tentunya butuh “teman” untuk bergerak sinergi dalam manmbah khazanah proses belajar yang mengarah prilaku normatif. Bravo untuk Jaksa Agung dengan Kantin Kejujurannya, dan Bravo pula bagi pejabat yang mengikuti langkah Pak Hendarman dalam usahanya membentuk negeri ini lebih jujur, bersih, dan normatif. Sekian.

0 komentar:

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum