LAYANAN PUBLIK ALA PUBLIK

Senin, 26 April 2010


Berbagai permasalahan publik yang terjadi sebenarnya tak perlu muncul jika layanan publik yang ada dapat berfungsi baik dan maksimal. Namun, hal itu pun ternyata kadang masih kurang disebabkan kurangnya pengertian dan pemahaman atas aturan layanan publik yang telah disusun. Terlebih lagi karena layanan public yang paten hampir tak ada, dan hanya disusun berdasarkan kemauan dari penyedia layanan public tersebut, yang sampai detik ini tak dapat disangkal beberapa di antara mereka ada indikasi keengganan untuk memberikan layanan yang maksimal terhadap public. Kecenderungan inilah yang sampai sekarang menjadi aral yang paling dominan dalam menjamin kepuasan public terhadap layanan yang diberikan.

Terlepas dari beberapa peraturan dan perundangan yang mengetengahkan tentang layanan public, sering terlupakan bagaimana layanan yang dibutuhkan public dari “kaca mata” mereka (public). Publik atau masyarakat atau rakyat atau user dari suatu layanan tentu mempunyai visi tersendiri terhadap layanan yang diberikan kepada mereka. Jika layanan yang diberikan sesuai dengan keinginan pengguna layanan, dapat dipastikan dapat meminimalisasi ketidakpuasan dari sebuah layanan public. Kenyataan sekarang, bahwa layanan yang diberikan berdasarkan konsep yang disusun oleh penyedia layanan sehingga terkesan justru memudahkan si pemberi layanan, padahal konsep layanan justru harus mempermudah si pengguna layanan yang tersedia.

Pentingnya mengetahui keinginan public atas layanan yang diharapkannya akan memberi energy objektivitas pada layanan yang diberikan. Beberapa hal yang menjadi harapan public terhadap setiap layanan yang disediakan antara lain:

Ramah dan Perhatian
Keramahtamahan merupakan factor utama, masyarakat merasa terlayani dengan baik. Sikap arogan pemberi layanan suatu hal yang paling “menjijikkan” masyarakat. Masyarakat butuh dihargai, bukan dicela. Tidak sedikit penerima aduan atau layanan di beberapa instansi justru menganggap remeh karena kekurangpahaman masyarakat, padahal justru karena itulah mereka ada di sana, yakni memberikan layanan atas kekurangpahaman masyarakat. Publik atau masyarakat butuh untuk diperhatikan, sehingga mereka lega karena yakin akan terpecahkan masalahnya atau terlayani dengan baik sesuai harapannya. Beberapa waktu lalu di sebuah bank pemerintah di Parepare ketika masa-masa pengurusan pengesahan foto copy rekening guru yang disertifikasi, jelas keramahtamahan dan perhatian kurang. Bisa dibayangkan, jika yang mengurus sesuatu dan butuh layanan itu adalah rakyat kecil, miskin, dan “bodoh”?

Mudah dan Tidak Bertele-tele
“Kepusingan” public sehingga butuh bantuan layanan akan semakin bertambah jika layanan yang disiapkan rumit dan bertele-tele. Beberapa instansi atau penyedia layanan merasa puas jika tak ada aduan terhadap mereka. Padahal keruwetan yang mereka munculkan membuat masyarakat tak ambil pusing terhadap “kepusingannya” sendiri. Layanan yang diberikan dengan bertele-tele justru membuat masyarakat tak terlayani dengan baik. Hal ini akan semakin “tragis” jika layanan yang rumit dan bertele-tele tadi terjadi pada instansi atau lembaga yang berurusan dengan sakit dan matinya seseorang. Suatu ketika, penulis mengantar seorang kemenakan yang kecelakaan di UGD rumah sakit pemerintah di Parepare. Mengurus obatnya saja, capeknya luar biasa. Capek pisik dan psikis. Bayangkan jika yang mengurus itu masyarakat dari kecil, miskin, dan bodoh tadi? Masyarakat bukanlah penghuni rumah sakit yang tahu betul lokasi tempat-tempat yang akan didatanginya. Tidakkah akan lebih elegan dan baik jika seorang suster (yang praktek juga boleh) mengantar keluarga pasien untuk mengambil obat yang dibutuhkan pasien di UGD ini?

Murah dan Berkualitas
Jika perlu gratis. Tentu saja tetap menjaga kualitas layanan. Walaupun harus ada kost terhadap suatu layanan yang mestinya gratis, mutlak disajika aturannya dengan transparan. Kepengurusan beberapa surat-surat penting masih wajar jika ada biaya dengan aturan yang jelas. Akan sangat berbahaya jika kost yang diberikan tak ada dasar hukumnya, apalagi hanya “suka-suka” saja. Benar ada tulisan “Dilarang Memberi Tip” , tapi tak ada yang tertulis “Dilarang Menerima Tip”. Salah satu instansi di Parepare menerapkan informasi yang memadai tentang kost terhadap pengurusan surat-surat penting. Hal ini menghindari “suka-suka” tadi dan jelas penerimaan yang diterimanya. Jika kita membandingkan kesalahan di pemberi atau penerima tip, maka jelas penerima. Bayangkan jika mereka tetap menerima tip dari si pemberi yang “tak punya”. Si penerima jika tak diberi sering berwajah “kusam”, sedangkan si pemberi jika tak memberi merasa khawatir kalau-kalau layanan yang diharapkan tidak maksimal. Sangat disayangkan beberapa kalangan jika dikritik karena anggotanya menerima tip, selalu menyalahkan si pemberi tip. Jangan biasakan member tip, katanya. Mengapa mereka tidak berani katakana, meskipun diberi pantang untuk diterima.

Tiga hal di atas, merupakan kajian sederhana keinginan public atau masyarakat terhadap layanan-layanan yang disediakan untuk mereka. Penyusunan panduang dalam memberikan layanan terhadap masyarakat, tak ayal lagi harus melibatkan public itu sendiri. Masyarakat yang merasa terlayani dengan baik akan berdampak pada kesediaan untuk memanfaatkan layanan dengan baik pula. Hal ini tentu saja berdampak positif terhadap penyedia layanan. SEKIAN

0 komentar:

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum