ORGANISASI GURU DI MATA GURU

Jumat, 07 Mei 2010

Organisasi modern saat ini, tidak lagi mengutamakan segi kuantitas anggota belaka, namun lebih fokus terhadap kualitas massanya. Lebih utama lagi jika yang dimaksud merupakan organisasi profesi. Organisasi profesi harus mampu menjadi dan dijadikan wadah pengembangan anggota. Kesadaran anggota terhadap pentingnya organisasi profesi tersebut, menuntunnya masuk dan mengembangkan diri di dalam organisasi tersebut. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, anggota organisasi tidak atau kurang merasakan ada manfaatnya masuk menjadi anggota organisasi tersebut, maka tinggal menunggu waktu organisasi tersebut akan ditinggalkan. Ditinggalkan, tidak hanya berarti tersurat, namun jika organisasi terlihat “melempem” tak punya kegiatan dan selalu ketinggalan dalam aksinya, maka itu cirri organisasi yang ditinggalkan anggotanya, meskipun tak ada sat orang anggota pun yang nyata mengundurkan diri.

Guru sebagai profesi tentu mempunyai pula organisasi profesi. Hal ini juga ditegaskan dalam UU Guru dan Dosen. Seperti organisasi profesi lainnya, organisasi guru juga tentu bertujuan meningkatkan harkat, martabat, kesejahteraan, dan nilai dari guru sebagai anggotanya. Bagaimana guru menjadi profesi yang disegani dan tak mudah menjadi “objek eksploitasi” baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Organisasi guru harus mampu menjadi tempat mengadu dan meminta perlidungan jika merasa kegiatan profesinya terkendala. Organisasi guru juga harus mengembangkan kualitas diri dan wawasan guru dengan cara-cara yang professional. Organisasi guru harus menghindari pemanfaatan organisasi untuk hal-hal yang berhubungan dengan politik dan “nilai-nilai pendekatan” yang tidak professional. Banyaknya tanggungjawab dan “pekerjaan” organisasi guru tentu mengharapkan para pengurusnya tidak sekedar “tampang nama dan Jabatan” saja, tapi harus punya kepekaan dalam menyadari tuntunan anggotanya.

Banyaknya permasalahan yang dihadapi guru saat ini, baik langsung maupun tidak langsung membuktikan pada organisasi guru bahwa tak ada waktu untuk vakum atau “tenang-tenang saja”. Seringnya guru menghadapi kendala dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab profesinya harus menjadi perhatian dari organisasinya. Tak bisa dibiarkan guru tak bebas (ketakutan) dalam mendidik atau mengajar di dalam kelasnya sendiri. Lebih gawat lagi jika guru telah meninggalkan jiwa profesionalismenya karena merasa tak dihargai. Kasus-kasus guru yang dilaporkan ke pihak berwajib karena persoalan “melanggar UU Perlindungan Anak” harus dan mutlak menjadi agenda advokasi organisasi guru. Urusan dengan pihak berwajib tentu mengganggu aktiitas profesinya sebagai guru. Organisasi gurulah yang semestinya menjadi tempat “mengadu” dan meminta perlidungan sehingga guru tidak terbebani harus berhadapan dengan pihak berwajib. Apalagi, persoalan yang banyak muncul sangat dimungkinkan untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Tentu akan sangat elegan jika organisasi guru dapat menfasilitasi MOU dengan pihak berwajib (kepolisian) dengan penyelesaian di intern dalam organisasi profesi guru, baik dalam pelaporan masyarakat maupun penyelesaian permasalahan.


Hari Pendidikan Nasional yang kemarin kita peringati, harus dijadikan momentum untuk sadar diri oleh organisasi guru, bahwa selama ini mereka telah menyia-nyiakan amanah yang diberikan oleh para guru. Organisasi guru terutama di daerah sering menjadikan dirinya sebagai tujuan. “Perjuangan” terjadi saat akan menduduki tampuk kepengurusan organisasi guru. Jika telah menjadi pengurus, “perjuanganpun” usai. Padahal, sebenarnya, organisasi guru harus dijadikan alat perjuangan untuk membantu guru meraih cita-cita pengembangan diri mereka, baik secara profesi guru mapun pribadi guru. Tentu baik jika organisasi guru juga mengadakan acara-acara seperti Maulid dan Halal Bi Halal, namun itu saja tentu bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Mengikuti arisan dan kepemilikan kartu anggota juga baik, tetapi jika hanya itu, tentu tidak menunukkan kualitas organisasi tersebut. Lebih tragis lagi, jika iuran anggota tetap berjalan sementara apa yang diharapkan terhadap organisasi tersebut tak pernah dirasakan.

Semua keluh kesah di atas merupakan teriakan imajiner guru terhadap organisasinya yang “mandul”. Sudah saatnya untuk mengubah mindset dalam mengurusi organisasi guru. Dibutuhkan orang-orang visioner untuk mengurusi guru yang semakin hari tantangannya semakin berat. Orang-orang yang peka terhadap “derita” dan kemauan rekan seprofesinya. Organisasi guru tidak membtuhkan mereka yang lebih banyak mengenal orang-orang di luar guru dibanding saudaranya sendiri (guru). Hardiknas tahun ini tidak boleh lewat begitu saja tanpa ada komitmen untuk para guru melakukan perubahan terhadap bagian organisasi yang “melempem” tadi. Jika guru masih mencintai organisasinya, maka mereka harus mau turut di dalam usaha memperbaiki organisasi guru. Organisasi guru adalah dari, oleh, dan untuk guru. Semoga tulisan ini menjadi inspirasi setiap guru untuk terus mengembangkan diri dan organisasi profesi guru. SEKIAN.

0 komentar:

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum