MENGUKUR MUTU GURU

Rabu, 17 Desember 2008


Apa yang terbetik dalam pikiran kita jika mendengar atau membaca kata “Guru”? Tentu kita akan menjawab sejauh mana ukuran atau pandangan kita terhadap guru. Jika kita adalah orangtua siswa, maka kemungkinan besar kita terpikirkan tentang orang yang telah memberi anak kita ilmu pengetahuan dan keterampilan. Jika kita seorang polisi, maka mungkin akan teringat seorang guru yang pernah dilaporkan oleh orangtua siswa karena telah ”menganiaya” anaknya. Jika kita seorang PNS Non Guru, mungkin akan berpikir bahwa profesi yang memang harus mendapatkan kenaikan gaji lebih karena tugas dan tanggungjawabnya begitu berat.

Tentu ukuran-ukuran terhadap guru di atas sangat subjektif. Belum lagi jika kita mengukurnya atas apa yang pernah kita (sendiri) alami yang bersentuhan dengan guru. Jika itu pengalaman pahit, maka buruklah ukuran kita terhadap guru. Tapi jika manis, maka baik pula penilaian kita terhadap ”pahlawan pencetak manusia cendekia” ini (sekarang bukan lagi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa). Kita sebenarnya bebas saja mengukur dan menilai guru sesuai kriteria atau alat ukur yang kita pakai. Namun, tentu saja dibutuhkan kearifan dan mungkin penilaian objektif tentang guru. Mengapa? Jangan sampai pengukuran atau penilaian terhadap guru tersebut hanya didasari oleh satu alat ukur saja, padahal kita telah menggenalisir guru, baik itu guru secara person, maupun guru secara institusi.

Penilaian terhadap guru yang paling sering dibicarakan dan dipermasalahkan adalah mengenai mutu guru. Guru tidak akan pernah lepas dari tuntutan mutu. Guru adalah profesi yang mencetak manusia cendekia bangsa ini, oleh karena itu mutu atau kualitas guru tak boleh ditawar-tawar lagi. Begitu banyak program pemerintah yang ditujukan demi terus meningkatkan mutu guru. Guru harus pintar karena mereka mendidik dan mengajar, salah satu tujuannya adalah mencetak generasi yang pintar. Ukuran guru yang bermutu tentu saja tidak sekedar harus menguasai materi yang diajarkan, tetapi lebih dari itu. Didaktik dan metodik (proses pembelajaran) harus pula diperhitungkan dengan sungguh-sungguh. Belum lagi jika kita juga mengukur prilaku dan sikap guru, karena guru harus menjadi teladan bagi siswanya. Oleh karena itu, tidaklah bijaksana jika kita menilai guru bermutu atau tidak hanya dengan mengukur satu sisi dari sekian banyak unsur ”pembangun” seorang guru. Termasuk suatu hal yang keliru jika kita berpendapat bahwa guru tidak boleh kalah pintar dari siswanya. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa siswa tak akan lebih pintar dari gurunya dan menutup kesempatannya untuk lebih pintar dari gurunya, padahal yang dianut oleh guru saat ini adalah jika mereka mampu mencetak siswa lebih pintar dari dirinya, maka dialah guru pintar sekaligus berkualitas. Contoh kasus, seperti juara Olympiade Fisika Internasional dari siswa Perguruan Athirah Makassar, tentu saja telah melebihi gurunya (khusus dalam hal Olympiade), karena sang guru belum pernah mengikuti Olympiade apatah lagi menjadi juara. Kemampuan siswa yang lebih dari gurunya tentu saja tidak membuat guru tersebut dicerca, tapi sebaliknya dia akan dipuji sebagai guru yang bermutu karena berhasil menelorkan siswa yang juara melebihi dirinya sendiri. Meskipun demikian, hal tersebut bukanlah sebagai alasan guru tidak lagi harus belajar. Justru dengan terbukanya peluang siswa lebih pintar dari gurunya, maka guru harus terus menambah wawasannya dengan belajar. Sama yang diajarkan oleh orangtua kita, bahwa jika orangtua kita berpangkat kolonel, maka anaknya diharapkan lebih dari pangkatnya. Siswa memang sepantasnya lebih pintar dari gurunya, mengapa? Siswa sebenarnya mempunyai dua otak, sedang gurunya hanya mempunyai satu otak. Otak pertama siswa adalah otaknya sendiri, dan yang kedua adalah otak gurunya.

Program sertifikasi guru yang dilaksanakan pemerintah saat ini saja, masih dirasa kurang untuk menjadi alat ukur penilaian kualitas guru, padahal unsur-unsur yang berusaha dinilai sudah sangat banyak (portofolio). Memberi guru evaluasi untuk menilai sejauh mana guru dapat menjawab soal-soal yang berkenaan dengan materi yang diajarkan adalah sesuatu yang positif dan merupakan salah satu bentuk upaya meningkatkan wawasan guru. Hal ini dapat menjadi pendorong guru untuk terus belajar, karena guru adalah dan harus menjadi manusia pembelajar. Program seperti ini juga akan membiasakan guru untuk dilatih menghadapi tantangan dan juga berkompetisi. Hal ini penting karena ke depan semakin ketat dihadapkan oleh semangat kompetisi, termasuk guru tidak boleh ketinggalan. Namun demikian, tentu hal ini bukan alat ukur yang tepat dalam menjastis bahwa jika guru dapat menjawab seluruh item soal dengan benar, maka guru itu telah menguasai materi yang diajarkan atau bahkan dikatakan bahwa guru itu berkualitas. Sedangkan, sebaliknya jika guru itu kurang benar dalam menjawab soal-soal terbatas tersebut maka dikatakan bahwa guru itu tidak menguasai materi atau lebih parah dicap sebagai guru tidak bermutu. Kurang bijak rasanya menilai guru bermutu atau tidak hanya karena tidak dapat menjawab satu dua soal, meskipun soal itu memang harus dikuasai. Mari kita mengambil perumpamaan sederhana: seberapa sering kita keliru atau salah pada suatu aktifitas yang tiap hari kita lakukan? Pernahkah kita alpa memakai jam tangan ke kantor? Pernahkan kita terjatuh pada tangga atau jalanan yang tiap hari kita lalui? Atau pernahkah kita alpa terhadap hitungan shalat yang kita sedang dirikan? Dan masih banyak lainnya.

Jadi, bagaimana mengukur mutu seorang guru? Inti seorang guru sebenarnya bukan pada orangnya, tapi lebih besar pada aktifitasnya. Sejauh mana dia gerakkan raga guru ini melakukan kegiatan atau aktifitas yang menampakkan identitas guru. Maka termasuk penilaian kurang elegan jika kita menilai kualitas guru dengan melihat nilai ujian siswanya. Jika hanya dengan mengukur nilai ujian siswa, guru dapat ditentukan berkualitas tidaknya, maka jangan salahkan guru jika melakukan aktifitas yang justru kurang menampakkan dirinya sebagai guru. Guru hanya ”menggelontorkan” soal-soal terus menerus kepada siswanya, karena alat ukurnya nanti adalah kemampuan siswa menjawab soal-soal ujian. Guru tidak akan mempunyai kreatifitas, inovasi, dan kepedulian terhadap etika siswanya.

Semua guru adalah orang pintar, tetapi tidak semua orang pintar adalah guru. Kepintaran guru adalah bagian dari penunjang kualitasnya. Kualitas guru haruslah diukur secara paripurna. Selain pintar (ilmu pengetahuan), guru harus beretika, guru harus menjadi teladan oleh siswanya dan lingkungannya, track record selama menjadi guru harus baik. Begitu banyak unsur yang harus dipenuhi barulah dikatakan berkualitas, sehingga kurang tepat seorang guru dinilai tidak bermutu hanya karena tidak memahami satu dua persoalan yang menjadi bahan materi ajarnya. Guru juga manusia, yang tentu tak luput dari kealpaan, seperti kita lazimnya manusia. Jika terdapat pilihan, maka akan lebih terukur jika menilai guru dari sisi etikanya. Jelas guru yang mempunyai etika yang tidak normatif adalah guru yang tidak berkualitas karena guru itu digugu dan ditiru (teladan). Seperti halnya, pengakuan semua orang bahwa para pejabat dan yang mempunyai gelar keilmuan tinggi tapi terhukum kasus korupsi yang sekarang banyak terjadi di Republik ini, merupakan orang-orang yang tidak bermutu. Renungkanlah... Sekian.

0 komentar:

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum