TKA-TPA Sebagai Gerakan Dini Reformasi Etika Bangsa

Minggu, 21 Desember 2008


Indonesia merupakan bangsa yang berbudaya, bukan hanya karena memiliki keragaman suku bangsa dan budaya, namun berbudaya juga diartikan sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika. Penghargaan terhadap etika dalam berprilaku setiap anak bangsa sebenarnya tidak hanya sebagai jargon belaka dan diajarkan di sekolah-sekolah dalam konsep teoritis, tetapi harus nampak pada prilaku bangsa ini secara keseluruhan. Tapi, kondisi saat ini hampir sulit menyaksikan suasana yang betul-betul menjunjung tinggi etika. Kita melihat, mendengar, dan membaca berbagai peristiwa yang terjadi di republic ini melalui media cetak dan elektronik sangat bertolak belakang dengan penghargaan kita kepada etika. Berbagai prilaku sadis, keji, dan tidak berprikemanusiaan dipertontonkan secara gamblang kepada kita, bahkan di depan anak-anak kita.

Anak-anak sebagai cikal bakal penerus bangsa ini telah “dirasuki” kepribadian “kanibal” yang sulit untuk dibayangkan bagaimana jadinya jika mereka-mereka telah menerima tongkat estafet pembangunan bangsa ini. Kepribadian yang tidak mengenal belas kasih dan menghalalkan segala cara akan tumbuh bersemi pada generasi penerus kita. Anak-anak kita hampir telah kehilangan panutan dalam mengarungi bahtera hidup ini. Orang yang semestinya memberikan teladan bagi generasi penerus justru menjadi “biang” terkontaminasinya kepribadian anak menjadi pribadi-pribadi yang tidak beretika. Guru-guru di sekolah juga mulai jenuh dengan upaya keras mereka dalam mendidik etika siswanya tapi menuai hasil yang sangat minim. Konsep etika yang diberikannya ternyata “kalah” dengan realita di lapangan. Masih lekat dalam ingatan kita, beberapa wakil rakyat saling adu jotos di gedung DPR sana, saling ejek antarmereka sudah sangat biasa, terjadinya kasus pornoaksi dan pelecehan seksual, dan terakhir beberapa di antaranya pula telah masuk bui karena kasus korupsi. Belum lagi perkelahian yang menjurus pada saling bunuh antarwarga kampung tetangga karena urusan sepele. Mahasiswa yang dikenal kaum cendekia saja menyelesaikan suatu masalah dengan genggaman batu dan parang. Jadi siapa lagi yang menjadi panutan dalam beretika anak-anak kita sekarang?

Manusia memang tak luput dari kesalahan, bahkan kesalahan yang diperbuat manusia tersebut dapat saja menjatuhkan derajatnya sebagai khalifah (pemimpin) di dunia ini lebih rendah dari binatang sekalipun. Tuhan sebagai khalik manusia telah menurunkan agama sebagai awal dan akhir manusia dalam berprilaku di muka bumi ini. Oleh karena itu, kekisruhan etika yang kita rasakan sekarang khususnya di negara kita ini tak lain dan tak bukan karena kita telah melupakan agama. Pengaturan yang telah dituntunkan Tuhan tentu merupakan aturan yang sempurna. Back to Basic manusia harus segera di tempuh. Kita harus kembali pada Tuhan dengan ajaran-ajarannya melalui agama. Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini tentu tidak hanya diperlukan jumlah penganutnya yang besar, tetapi yang lebih penting adalah kualitas keIslaman kita. Islam harus dibawa kemanapun kita berada. Islam bukanlah monoton pada ibadah ritual belaka, tetapi menyangkut semua aspek hidup dan kehidupan manusia lengkap diatur dan dituntun oleh Agama Islam. Untuk itu, demi mengurangi dan membentengi anak-anak kita terhadap ”kekisruhan etika” saat ini, perlu menuntun mereka segera ke agama.

Pendidikan keagamaan memang seharusnya pada masa kanak-kanak, bahkan ajaran Islam lebih awal lagi yakni pada masa konsepsi dan menyiapkan calon pasangan harus telah melalui tuntunan agama. Pendidikan keagamaan di sekolah sejak lama dirasa sangat kurang, oleh karena itu muncul konsep pengintegrasian nilai-nilai Imtaq terhadap materi ajar di sekolah. Hal ini pun dirasa kurang berhasil karena waktu anak lebih banyak di rumah tangga dan masyarakat. Oleh karena itu tanggungjawab orangtua harus lebih utama dalam membentuk kepribadian anak melalui etika agama. Permasalahan kembali muncul dengan alasan aktifitas dan kesibukan orangtua yang hampir tiada henti selama 24 jam sehari. Kendala-kendala inilah yang mengharuskan kita mempunyai alternatif pemecahan masalah etika anak jika kita serius ingin melihat buah hati kita berhasil kelak dengan tetap memiliki etika yang baik.

Sejak lebih 20 tahun terakhir sebenarnya di negeri kita muncul suatu aktifitas anak yang dapat diartikan sebagai gerakan dini reformasi etika. Taman Kanak-kanak Al Qur’an dan Taman Pendidikan Al Qur’an (TKA-TPA) telah menjamur di negeri ini sampai ke pelosok-pelosok. Suatu institusi pendidikan keagamaan untuk anak-anak usia TK dan SD yang serius menggali nilai-nilai Agama Islam untuk dijadikan konsep dan praktik dalam beretika. Pendidikan Al Qur’an sebagai inti kurikulumnya merupakan dasar umat Islam. Aturan dan tuntunan Islam lengkap di Al Qur’an sebagai Kitab Suci yang terjaga kemurniannya sampai akhir dunia. Selain itu, pendalaman terhadap prilaku sehari-hari yang sesuai ajaran Islam telah diperkenalkan dan diamalkan dalam institusi ini. Kurikulum yang lengkap serta pendidiknya yang dikenal dengan Ustadz-Ustdzah yang kredibel baik ilmu agama teoritis maupun kepribadian dalam prakteknya, merupakan alasan kita untuk meyakini institusi ini Insya Allah dapat menjadi pemberi ”benteng” kepada anak-anak kita. Hubungan psikologis dan emosional antara santri (siswa di TKA-TPA) dengan Ustadz-ustadzahnya adalah salah satu nilai tambah yang sangat besar artinya dalam ”mendarahdagingkan” nilai-nilai agama pada jiwa dan raga generasi penerus bangsa tersebut.

Bagaimana dengan hasil yang telah ditelorkan oleh TKA-TPA selama ini? TKA-TPA merupakan alternatif pendidikan keagamaan yang berusaha memenuhi kebutuhan orangtua-orangtua peduli terhadap etika anak-anaknya kelak. Orangtua-orangtua yang sedikit khawatir terhadap dirinya kelak di akhirat karena disebabkan kurangnya perhatian mereka terhadap pendidikan agama anaknya. Oleh karena itu hasil yang diberikan oleh TKA-TPA tentu tidak fair jika dibandingkan dengan pesantren. Anak kita mampu menghormati orang yang lebih tua, bertutur kata yang baik, berusaha menjalankan perintah agama, dan terkhusus mampu membaca Al Qur’an dengan baik, adalah contoh hasil dari TKA-TPA yang maksimal. Pada Kondisi saat ini, jika anak kita telah mampu berbuat yang demikian, maka kita sebagai orangtua tentu sangat berbesar hati dan bersyukur. Untuk itu, semua lapisan masyarakat (tidak hanya orangtua santri) harus memiliki perhatian serius terhadap perkembangan lembaga ini. Perhatian pemerintah termasuk pemerintah daerah terhadap institusi yang mereformasi etika ini, merupakan kendala paling utama dalam pengembangannya. Standar ganda yang diterapkan pemerintah sungguh membuat institusi potensial ini sangat lamban perkembangannya. Secara teoritis dan jargon, pemerintah terus menyuarakan pentingnya mengedepankan agama dan etika dalam berprilaku, tetapi pada aplikasinya terjadi hal yang sebaliknya. Selain cara-cara yang bukan tuntunan agama dan tidak beretika tetap dijalankan, juga perhatian terhadap institusi semacam TKA-TPA yang akan mendukung teori dan jargonnnya tadi, kurang diperhatikan.

Jika kita (pemerintah dan rakyat) sepakat menjadikan agama sebagai hal yang krusial dalam pembangunan bangsa ini, maka sangatlah mudah memberikan anggaran yang lebih untuk aktifitas semacam TKA-TPA. Penganggaran APBN dan APBD untuk hal yang real demi etika bangsa ini sungguh sangat wajar dan harus untuk direalisasikan. Kesejahteraan bagi pengurus dan tim pendidik di TKA-TPA merupakan kewajiban bagi pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memenuhinya. Hal ini juga merupakan bukti nyata keberpihakan pemerintah terhadap pentingnya agama dan etika pada kondisi masyarakat yang semakin ”brutal” Etika juga harus direformasi, dan TKA-TPA merupakan sarana untuk mereformasi etika bangsa ini sejak dini. SEKIAN.

0 komentar:

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum