Ternyata, ada benarnya juga tindakan seorang teman saya yang
tidak menyiapkan TV untuk anak-anaknya di rumah. Bukan karena dia tak sanggup
membelinya, namun karena dia sebagai orangtua tak mau anaknya “teracuni” dengan
siaran TV yang “gila”. Memang agak radikal tindakan teman saya ini, namun dia
memunyai tujuan yang sangat mulia. Apalagi saat ini, siaran TV semakin
menyajikan prilaku-prilaku yang bukan saja tidak memunyai manfaat, tetapi lebih
dari itu justru dapat merusak etika generasi kita nantinya.
Lihat saja, betapa banyak siaran TV yang tidak memunyai
esensi nilai dan sudah melampaui ambang batas toleransi sebuah tontonan publik.
Siaran-siaran yang hanya mengumbar goyangan-goyangan erotis, tampilan vulgar,
serta ujaran-ujaran kasar dan kotor. Ironisnya lagi, karena siaran semacam ini
memeroleh rating yang tinggi, buktinya siaran seperti ini semakin banyak di TV,
bagaikan tumbuhnya jamur di musim hujan. Lebih fatal lagi, karena beberapa kali
tayangan siaran “gila” tersebut, juga menampilkan keikutsertaan anak-anak.
Terlihat pada siaran tersebut, anak-anak berbaur dengan orang dewasa, bergoyang
sampai hampir larut malam. Kondisi seperti ini sungguh tak boleh dibiarkan
terus berlanjut, jika kita masih memunyai rasa peduli terhadap etika anak
bangsa.
Sangat disayangkan, karena beberapa instansi pemerintah
justru berusaha melanggengkan contoh-contoh di TV yang tak mendidik tersebut.
Diadakannya lomba bergoyang gaya A dan gaya B serta lainnya adalah bukti tak
adanya keprihatinan terhadap masalah besar ini. Tak adakah kegiatan atau lomba
lainnya selain lomba goyang yang vulgar serta tak mendidik itu? Rasa peduli
inilah yang semestinya harus ditumbuhkan berkenaan dengan nilai-nilai etika,
agama, dan budaya karakter bangsa, baik dari orang-per orang, organisasi,
masyarakat, maupun pemerintah.
Masyarakat sebagai user dari TV haruslah semakin selektif
dalam memilih channel dan siaran. Jika masyarakat peduli terhadap bayangan kebobrokan
etika anak bangsa ini ke depan, maka harus
melakukan tindakan. Rating tinggi membuat siaran TV “gila” tersebut semakin menggila,
dan penyebab rating tinggi adalah semakin banyaknya masyarakat yang menyukai
(menonton) siaran tersebut. Oleh karena itu, untuk mengurangi bahkan
melenyapkan siaran-siaran “gila” tersebut, masyarakat harus melakukan boikot.
Jangan memilih siaran “gila” untuk ditonton, kita dan keluarga kita. Hindari
siaran-siaran yang seperti itu demi kelanjutan nilai-nilai etika tetap
bersemayam pada generasi dan anak-anak kita.
Pengatur regulasi penyiaran pun harus didesak untuk selektif
memerhatikan siaran-siaran TV yang tidak memunyai nilai positif. Pemerintah dan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentu tak boleh tinggal diam mencermati
permasalahan yang krusial ini. Pemerintah sebagai pengayom terhadap seluruh
aktifitas masyarakat harus cermat melihat gelagat terhadap potensi “terjun
bebasnya” etika bangsa ini dengan siaran-siaran “gila” di TV. Tentu kita harus
angkat topi terhadap tindakan pemerintah dalam hal pemblokiran situs-situs
porno di internet. Namun, jangan sampai hal yang lebih luas jangkauan daya
rusaknya, yakni siaran-siaran TV “gila” tadi, terkesan tidak tersentuh. KPI
juga demikian, tentu kita tidak harapkan hanya bergelut pada siaran-siaran yang
melanggar aturan-aturan menjelang Pemilu, atau hanya berkutat pada siaran
insidentil belaka. KPI harus cermat mengamati siaran-siaran TV yang memang
“daya rusaknya” seketika tidak besar namun jika dibiarkan akan menjadi “bom
waktu” terhadap bobroknya etika bangsa ini di kemudian hari.
Jangan pernah merasa sia-sia dalam memperjuangkan kebaikan,
meskipun itu kita rasakan tak berpengaruh. Anda dan keluarga anda yang peduli
terhadap etika anak bangsa jika melakukan pemboikotan terhadap siaran-siaran TV
yang amoral tadi tentu telah merupakan suatu hal yang sangat krusial dalam
rangka perjuangan menegakkan moral dan etika bangsa. Meski pun anda dan
keluarga anda adalah seperti sebutir pasir di pantai jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk Indonesia lainnya. Berpengaruhkah yang telah anda lakukan?
Jawabnya, sangat berpengaruh. Tak akan ada banyak jika tidak dimulai dengan
sedikit, bahkan harus dimulai dengan satu. Tentu peran organisasi sebagai
kumpulan orang perorang akan lebih “menyentak” jika melakukan hal yang sama.
Terutama organisasi yang menjunjung nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Selain
ke dalam dengan anggota organsasinya, juga ke luar kepada masyarakat pada
umumnya dan terutama tuntutan kepada pemerintah dan KPI agar menyadari tentang
urgennya penghentian siaran-siaran TV “gila” tersebut. SEKIAN.
0 komentar:
Posting Komentar