Pembelajaran sastra telah lama kita lakukan di sekolah-sekolah pada tingkatan tertentu. Para guru, khususnya guru Bahasa Indonesia telah berusaha untuk “melunasi” tuntutan pada dirinya untuk mengajarkan sastra pada siswanya. Pelajaran mengarang, membuat cerpen, puisi, esai, dan lainnya diberikan kepada siswa dengan tujuan agar siswa mampu untuk memahami seperti yang dipamahi oleh guru mereka. Jika pengetahuan dan kemampuan guru bahasa mereka pas-pasan, maka dapat dibayangkan tingkat pengetahuan siswa tentang sastra tersebut. Ironisnya lagi, motivasi untuk lebih menggali kesusastraan lebih mendalam tidak diberikan pula oleh guru. Akan semakin fatal, jika guru menganggap pengetahuan dan kemampuannya dalam sastra merupakan komponen sastra secara keseluruhan.
Membiasakan dan melatih siswa untuk berpuisi, mengarang, membuat cerpen, bermain peran dan atau sebagainya adalah kegiatan yang lumrah dilakukan guru di kelas-kelas dalam mengajarkan sastra. Kegiatan ini tentu baik untuk dilakukan setiap saat, namun tentu saja tidak cukup karena sastra tidak sekedar sesuatu yang harus diulang-ulangi tapi lebih kompleks dari itu. Sastra tidak hanya prakteknya saja, namun juga kaya akan teori yang mendukung pagelaran sastra dilakukan. Lebih dari itu, pembelajaran sastra juga masih tidak cukup hanya dengan semangat saja, karena akan berdampak kejanggalan-kejanggalan yang tentu saja tak dapat dikatakan suatu lingkung sastra. Dalam hal ini Nenden Lilis seorang penulis, sastrawan, dan Dosen UPI Bandung mengatakan bahwa: sastra mempunyai suatu dasar sebagai bentuk kesepakatan dalam “menceburkan diri” dalam sastra itu sendiri.
Seorang sastrawan adalah seorang yang telah terlatih menuangkan konsep sastra (pengetahuan/teori sastra) yang telah di dalaminya dengan maksimal. Konsep sastra dapat saja kita dalami seiring dengan latihan/pertunjukan atau penciptaan karya sastra itu sendiri. Namun, kemampuan kesusastraaan akan stagnan jika metode yang dilakukan seperti saat ini lebih banyak dipraktekkan di sekolah-sekolah. Tujuan mulia sastra khususnya pada bagian dasar dan sangat bersentuhan dengan sekolah, yakni membangkitkan minat baca akan terasa “hambar”. Siswa merasa terbebani dalam mempelajari sastra tersebut karena mereka harus “memakan makanan yang asing baginya dan harus pula dengan teknik berbeda jika memakan makanan yang biasa dilakukannya.”
Jika ditilik lebih mendalam, maka sastra akan lebih cepat ‘membumi” pada diri siswa karena sastra lebih banyak mengetengahkan realita kehidupan. Bandingkan dengan mata pelajaran Matematika yang harus dikuasai siswa lebih banyak tak dapat diaplikasikan atau tak ditemukan siswa dalam realita kehidupannya. Revolusi pembelajaran sastra telah mendesak untuk dilakukan di sekolah-sekolah. Membelajarkan sastra haruslah juga mengetengahkan penanaman konsep sastra itu pada diri siswa. Hal itu akan dapat dilakukan jika faktor utama dari semua itu, yakni guru, harus terlebih dahulu memahami sastra tersebut dengan paripurna, tentu saja pada tingkatan pembelajaran, tidak harus sama dengan sastrawan sekaliber Imam Saleh di teater, Rendra pada puisi, dan Taufiq Ismail dalam penciptaan dan apresiasinya. Walau demikian, tidak juga dinafikan akan muncul sastrawan-sastrawan baru dengan pendekatan pembelajaran sastra yang benar di sekolah-sekolah.
Dampak positif pengiring dari pembelajaran sastra di sekolah adalah dapat menekan nilai-nilai “kekasaran”, baik itu etika keseharian maupun pandangannya terhadap kehidupan yang semakin apatis saja. Kehalusan dan nilai estetika serta religius pada sastra akan mampu merangkum “jiwa-jiwa hampa dan meradang” dalam mencari jati dirinya. Anggapan bahwa sastra merupakan “melankolis jiwa” juga tak semuanya benar. Sastra berusaha menempatkan suatu realita ke dalam penciptaan sastra agar dapat dinikmati dengan segar meski hal itu dalam kenyataan adalah sesuatu yang tragis dan bengis. Kemampuan untuk tetap pada koridor pemikiran jernih dalam menghadapi realita kehidupan saat ini, tentu sangat diperlukan, terutama pada siswa-siswa yang tentu saja akan mengalami hal yang lebih kompleks lagi di masa datang. Perhatikan sebait sajak kerinduan di bawah ini:
Kuingat Engkau dalam sujud Tahajjudku
Kucurahkan rindu padaMu yang terlupa
Bisikkan harapan kemenangan pada cintaku
Yang mengingaku laksana Engkau yang tak pernah alpa
Biarkan air mata cintaku mengalir menderu
Seperti Engkau biarkan gelegar jiwa ini kepadanya
Bimbing air mata kami untuk bersatu mencintaiMu
Dalam rengkuh kasih sayangMu di sana.
(MS2-040309-MMAS)
Revolusi Pembelajaran Sastra di Sekolah
Muh. Syukur Salman
Jumat, 06 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
Akses internet yang cepat adalah dambaan semua orang yang aktif memanfaatkan internet sebagai sarana pendukung aktifitasnya. Tak terkecuali...
-
Secara formal memang tidak dikenal istilah sekolah favorit di Negeri ini. Namun, hampir di setiap daerah, sekolah favorit tetap ada dan sema...
-
Banyak pihak yang akhir-akhir ini meragukan efektifikasi program sertifikasi guru dapat meningkatkan professionalisme pahlawan tanpa tanda j...
-
Kata Baskom, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “tempat air untuk cuci tangan atau muka”. Namun, pada umumnya ibu r...
-
Malam semakin larut, namun mata Rina belum dapat dipejamkan. Degupan jantungnya semakin kencang saja. Mukena yang dipakainya Shalat Isya bel...
Kata Bijak
Apapun harapan dan cita-citamu, semua tergantung kepadamu. Meski bantuan dari oranglain akan sangat bermanfaat, namun sangat kecil bagian dari pencapaian yang kau raih. Usahamu adalah jalanmu untuk menjadi yang kau inginkan. Oleh karena itu, apapun yang telah kau raih dan dapatkan adalah karena dirimu. Senang atau tidak senang terhadap keadaanmu sekarang adalah akibat dari dirimu sendiri. Jadilah dirimu sendiri adalah jalan yang terbaik dan terindah dalam arung kehidupan ini. MS2
Mengenai Saya

- Muh. Syukur Salman
- Parepare, Sulawesi Selatan, Indonesia
- Lahir di Parepare, 35 tahun yang lalu tepatnya tanggal 14 Agustus 1973. Menyelesaikan pendidikan tertingginya di Universitas Negeri Makassar tahun 2004 pada jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. Profesi keseharian adalah Kepala SD Negeri 71 Kota Parepare, Sulawesi Selatan. Kegemaran dibidang tulis menulis juga membuatku telah menerbitkan 3 buku cerita anak, 1 buku kumpulan ESAI/OPINI pendidikan, dan 1 buku kumpulan cerpen remaja Islam. Mempunyai dua anak berumur 4 tahun yang laki-laki bernama Muh. Uswah Syukur dan berumur 2 tahun yang perempuan bernama Sitti Hasanah Syukur,serta seorang istri cantik bernama Mukrimah.
0 komentar:
Posting Komentar