GURU DAN POTENSINYA

Minggu, 17 Oktober 2010


Apa yang terbersit dalam pikiran kita saat membaca atau mendengar kata “Guru”? Atau mungkin sudah tidak ada yang dapat dibersitkan dalam pikiran kita tatkala membaca atau mendengar kata itu tadi? Ataukah kita sudah menganggap guru sebagai suatu profesi yang tak perlu lagi untuk dipikirkan lagi? Guru terlalu susah untuk menjadi bahan pikiran kita tetapi terlalu cetek dalam pandangan kita. Guru selalu objek penderita pada diskusi-diskusi tentang peningkatan mutu pendidikan. Guru terlalu mudah untuk dijadikan “kambing hitam” terhadap karut marut masalah pendidikan.

Masih adakah di antara kita yang jika membaca atau mendengar kata “Guru” maka yang terbersit dalam pikiran adalah seorang yang pandai, berpakaian parlente, disegani, serta penentu keberhasilan pendidikan. Atau, kita termasuk yang membayangkan seorang yang tak cukup pandai, berpakaian lusuh berkeringat, dicuekin, serta menjadi simpul permasalahan pendidikan. Jika sebagian besar berpikiran demikian terhadap guru, maka dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang terlalu “mengecilkan” peran profesi guru adalah mereka yang berwawasan sangat dangkal dan perlu dipertanyakan gelar keilmuan yang disandangnya jika memang ada. JIka yang “mengecilkan” tadi adalah juga guru, maka jelas mereka bukan guru tulen.

Guru adalah suatu profesi yang memang dimanahkan, diwajibkan, serta berkemampuan untuk mendidik siswa, secara formal. Diperlukan tidak sedikit waktu untuk menjadi seorang guru. Segudang potensi dan wawasan didaktik metodik yang telah diterimanya dalam proses pembentukannya menjadi guru. Apalagi dengan aturan-aturan yang semakin mengharuskan guru lebih meningkatkan kemampuannya, maka mustahil guru menjalankan profesinya seperti “patung”. Profesi yang paling memungkinkan dan diakui untuk berinovasi dan berkreasi adalah guru. Alasan-alasan inilah yang harus menjadi pemikiran sehat oleh orang-orang yang selalu memandang guru seperti bukan guru.

Bagaikan penonton sepak bola yang merasa lebih pintar bermain bola dibanding pemain bola sungguhan. Demikian pula para pengkritisi guru yang telah merasa pintar dengan hanya mengumbar kelemahan guru yang nyata tanpa memberikan solusi pemecahannya. Persoalan yang dihadapi guru di lapangan lebih liar dibanding bola yang dihadapi pesepak bola di lapangan hijau. Lebih ironis lagi jika pemecahan permasalahan guru hanya mengeksploitasi atau menerapkan manejeman ancaman yang justru semakin memperparah permasalahan yang ada. Oleh karena itu, kebijakan dan kebiasaan yang selalu menyalahkan guru harus diubah.

Bagaimanapun lemah kemampuan seorang guru, masih lebih baik dalam mendidik dan mengajar siswa dibanding yang bukan guru, bagaimanapun unggulnya orang tersebut. Oleh karena itu, seorang yang non guru jangan sekali-kali mengumbar “tantangan” untuk bersaing dengan guru dalam aktifitas proses pembelajaran di kelas. Mungkin seorang non guru lebih unggul dibanding guru dalam proses pembelajaran dua jam pertama, tetapi tak mungkin unggul untuk dua minggu di kelas yang sama. Belum lagi kalau dua bulan, apalagi dua tahun. Disinilah inti permasalahannya. Bahwa guru tidak dapat dilihat sekejap saja dalam menilai kinerjanya, tetapi dibutuhkan waktu dan penyelaman kondisi di lapangan yang sebenarnya.

Setiap guru dapat dipastikan mempunyai potensi didaktik metodik yang khas melebihi yang bukan guru. Kemampuan guru tersebut berbeda pengaplikasiannya di lapangan untuk setiap guru. Perbedaannya ada dua macam, yakni perbedaan dalam kualitas penyaluran dan perbedaan dalam kuantitasnya. Hambatan dalam membendung kualitas dan kuantitas kemampuan guru merupakan masalah yang sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dikenal betul penghambatnya tersebut sehingga kemampuan guru dapat tersalurkan dengan maksimal.

Dulu, sebelum gaji guru seperti saat ini dan sebelum adanya sertifikasi, para pengamat menyimpulkan bahwa rendahnya kualitas guru dalam mengajar disebabkan gajinya yang masih kurang. Kenyataannya sekarang, dengan gaji yang cukup serta program sertifikasi perubahan kinerja guru hanya bergerak sedikit saja. Bahkan ada sinyalemen tak ada perubahan sebelum dan sesudah sertifikasi. Ternyata bukan semata-mata inti persoalan berada pada gaji rendah. Juga bukan pada kurangnya pendidikan dan pelatihan yang diikuti guru yang menyebabkan rendahnya kinerja guru (mutu guru). Banyak guru telah mengikuti beberapa kali diklat guru, tetapi tetap “Aku Seperti yang Dulu” kata instruktur menyindir guru setelah mengikuti diklat.

Kepiawaian seorang guru yang menampakkan dirinya sebagai guru tulen jika potensi yang dimilikinya tadi dapat tersalurkan dengan baik. Penyaluran potensi guru dapat terlihat secara umum hanya di kelas dan yang lebih luas di sekolah tempatnya mengajar. Tersalur tidaknya potensi guru, permasalahannya hanya di lingkup sekolah saja. Jika sekolah “welcome” terhadap kinerja dan kreatifitas guru, maka yakinlah itu akan muncul. Tetapi sebaliknya, jika sekolah mau apa adanya saja, maka betapa pun hebatnya guru, akan terhambat penyaluran kreatifitasnya. Guru sebenarnya merupakan profesi pembaharu, yakni selalu mempunyai kemampuan untuk berbuat dan mencipta yang baru dan berbeda. Jika sekolah sudah ideal dalam penyaluran potensi guru, maka tak ada sekolah yang statis dalam kreatifitasnya.

Kesimpulanya, bahwa tinggi rendahnya kualitas guru dalam kinerja dan kreatifitasnya tergantung sekolah dimana guru itu bertugas. Aura sekolah yang mampu “memantik api” kreatifitas guru akan terlihat lebih nampak dibanding sekolah yang “menyembunyikan pemantik apinya” tersebut. Oleh karena itu, tulisan ini juga menyarankan agar energi dalam memikirkan kualitas guru sebagian dialihkan kepada sekolah. Bagaimana manajemen sekolah yang baik, khususnya dalam membuka kran kinerja dan kreatifitas tinggi guru-gurunya. SEKIAN

0 komentar:

 
SYUKUR SALMAN BLOG © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum